Mohon tunggu...
Saniatur Rizqiyah
Saniatur Rizqiyah Mohon Tunggu... Guru - Writer, Psychology

saya menyukai kegiatan menulis, membaca dan belajar. saya sangat ingin tahu tentang banyak hal, saya suka mencoba hal-hal baru tanpa takut kegagalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laksana Kembang Teratai

15 Oktober 2023   19:21 Diperbarui: 15 Oktober 2023   19:41 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nafisyah Kayla Ramadhani. Ibuku memberi nama yang begitu indah. Nafisyah dalam bahasa arab memiliki arti perempuan yang sangat berharga dan berkedudukan tinggi. Kayla dalam bahasa arab memiliki arti Mahkota, dan Ramadhani sebagai pengingat bahwa aku dilahirkan di bulan ke sembilan dalam kalender Hijhriyah, yakni bulan Ramadhan.

Sejak aku lahir, ayah dan ibuku sudah mempersiapkan banyak hal untuk masa depanku, sudah meletakkan harap yang begitu besar padaku, mereka tak pernah mau aku mengecewakannya suatu hari nanti. Aku tak boleh gagal, tak boleh jatuh, tak boleh sakit, dan tak boleh menangis. Namun mereka melupakan satu hal, perannya dalam prosesku.

Di usiaku yang ke 5 tahun, ayah dan ibu mengalami pertengkaran yang begitu hebat. Hingga mereka harus berpisah dan sebagai anak tunggal, aku harus ikut salah satu diantara mereka. Saat itu aku penuh kebingungan, nafisyah kecil, yang seharusnya menikmati hari, belajar banyak hal dengan kedua orang tua, harus kehilangan masa-masa emasnya. Aku tinggal bersama ibu dan kakek nenekku, ayah pulang ke kampung halamnnya. Aku tau, ini sulit bagi ayah. Aku merasakan betapa ia sangat mencintaiku, aku merasakan bagaimana pilunya ia harus jauh dari anak perempuan kesayangannya dan harus bertumbuh tanpanya.

Sejak perceraian itu, hariku tak lagi sama. Aku diberi label yang begitu menjijikkan. "anak pelacur". Begitulah kebanyakan teman-teman seusiaku menyebutnya. Ibu kerja di luar kota sebagai Asisten Rumah Tangga. Berangkat pagi pulang ba'da maghrib dan hanya bisa naik kereta api, karena saat itu ibuku tidak memiliki apa-apa. Namun orang desa menyimpulkan dengan pemikirannya sendiri tentang pekerjaan ibu. Sejak hari itu dan sampai saat ini, aku tidak pernah mengadukan itu kepada keluargaku, kepada ayah dan ibuku. Karena aku takut akan melukainya. Biarlah hatiku tersayat hingga perih, asal bukan ayah dan ibuku.

Kukira aku akan kehilangan sosok ayah saja, ternyata dugaanku salah. Dari SD hingga SMP aku dibesarkan di Pondok Pesantren Salafiyah. Dan ibuku mencarikan aku nafkah hingga ke luar Negeri. Taiwan, adalah negara yang dipilihnya, yang membuat beliau betah hingga sekarang, aku tidak pernah tau, seindah apa Taiwan, semenarik apa Negara Taiwan, hingga ibuku sangat mencintai bahkan lebih dari Negaranya sendiri. Mungkin, disana ibu menemukan kedamaian, disanalah ibu merasa sejahtera. Aku tak ingin mengusik bahagianya, ketengannya, biarlah ia berkelana, aku percaya, ibu takkan pernah lupa bahwa ia seorang ibu, bahwa ia memiliki aku.

Menjadi seorang perempuan, yang memiliki banyak impian dan harapan, yang ingin membuktikan kepada semua orang yang pernah menghina ibuku, menghina ayahku, menghinaku, melemahkanku. Bahwa aku tak seremeh yang mereka fikirkan. Aku punya harga diri, aku memiliki nilai, aku luar biasa, aku pantas ada. Namun dalam proses pembuktian itu, ternyata tidak mudah. Aku tumbuh tanpa seorang ayah dan ibu disampingku. Aku berproses tanpa dukungan dan dorongan dari keluargaku. Melangkah seorang diri, mencari jati diri. Masalah terus silih berganti. Seringkali aku mengalami kegagalan dan kesalahan dalam menggapai mimpi. Terkadang aku ingin mneyerah, aku lelah,

Sejak awal aku hadir didunia, memang seperti kembang teratai. Dia mekar. Tumbuh lurus diatas permukaan air. Tapi tidak tenggelam. Ia tegak seperti teratai meski kadang air itu berlumpur dan kotor, kumuh dan berbau tak sedap. Ia tenang dalam keindahan. Berdiri diatas daunnya yang besar seperti penopang mahkota. Mengapung di air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun