Mohon tunggu...
Sani fitriyani
Sani fitriyani Mohon Tunggu... Penulis - Peselancar dunia maya

Aku ingin begitu, aku ingin begini

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kuasa Media Sekuler dalam Memframing Pemberitaan Umat Muslim

31 Desember 2018   07:20 Diperbarui: 31 Desember 2018   07:48 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : jeumpanews.com

Indonesia adalah negara umat muslim terbesar di dunia. Namun banyaknya umat islam di negara ini kurang mendomisili kekuatan muslim. Sebaliknya banyak konten media yang memframing islam itu lemah, suka ditindas, bodoh dan radikal. 

Sebenarnya itu hanya settingan media sekuler dalam menerapkan frame islam di media. Kuasa media dalam menampilkan wajah dan karakter umat islam tentu mudah setting apalagi itu dari media sekuler.

Realitas yang kita anggap hadir melalui berita, nyatanya adalah realitas yang telah dikonstruksikan sedemikian rupa oleh media. 

Media tentu saja memilih, realitas apa yang diambil dan mana yang dicampakkan. Ia bukan saja memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, tetapi juga berperan mendefinisikan aktor dan peristiwanya. Lewat bahasa, ia dapat menyebut, misalnya, demonstran sebagai pahlawan atau perusuh. Semua buah konstruksi tersebut membuat khalayak harus memahami dalam kacamata tertentu yang telah digariskan oleh media. 

Contoh banyak beberapa kasus umat islam yang sering di judge lemah misalnya sinetron. Mungkin di bingkainya itu adalah sinetron religius namun apakah setiap orang yang mempunyai agama yang kuat harus selalu diperlakukan semena-mena, bersikap diam jika ada yang menindas, apakah islam selemah itu. Ya .. 70% media menayangkan citra islam yang lemah.

Padahal islam itu adalah umat terkuat. Contoh lain bagaimana media sekuler memperkosa pemberitaan politis dan fakta lapangan lainnya yang sarat akan kepentingan oknum pemerintah. Banyak sekali kasus di lapangan toh media kuasa atas setiap pemberitaannya. Toh media bisa memberi efek jarum hipedermik. Ya jarum suntik yang di suntikan ke pada khalayak membuat apa yang di framingkan media seolah olah itu fakta nyata. 

Kekuatan media melalui framing pemberitaan melangkah lebih jauh.Framing bisa berkaitan dengan opini publik. Ketika sebuah isu tertentu dikemas dengan bingkai tertentu, bisa mengakibatkan pemahaman yang berbeda atas suatu isu.

Celakanya, pengaruh media massa saat ini didominasi bukan oleh media yang memperjuangkan nilai-nilai Islam, namun dijejali dengan media berbasis sekuler. Berapa banyak harian Islam yang bisa disebut di Indonesia? Berapa jari yang bisa dihitung ketika menyebut televisi Islami? 

Di layar kaca, materi Islam hanya singgah saat orang masih terlelap, dan semarak ketika bulan ramadhan tiba. Itu pun belum jelas, yang menyampaikan pelawak atau dai. Maka ketika berbagai opini yang bertentangan dengan Islam, umat dibuat kebingungan. Begitu massif dan intens opini tersebut muncul, sehingga wacana kontra nilai-nilai Islam sedikit demi sedikit terbentuk memenuhi benak umat.

Kasus- kasus besar bisa lenyap dan hilang itu tergantung bagaimana media menciptakan drama agenda sering. Kasus novel yang terintimidasi akibat mau membeberkan fakta sebagai tanggungjawab tugasnya malah sudah tidak diexpos lagi karena media punya agenda setting. 

Sebaliknya dewasa ini media sekuler lebih condong pada pemberitaan pencitraan dan mereka hampir kehilangan jati dirinya. 

Penghasutan wacana yang begitu membahana, mulai dari liberalisasi agama, kampanye anti syariat Islam, sekularisasi hingga pengaburan sejarah mulai menjadi makanan sehari-hari umat Islam. Kita terpaksa menelan yang tak baik untuk kita. Hal ini, merupakan buah dari penguasaan wacana yang begitu sistematis dan terarah dari pihak-pihak pengusung nilai-nilai sekular dan liberal.  Bahkan menurut Edward Said,"Media mengatakan apa yang mereka harapkan tentang Islam, karena mereka mampu

Entahlah... Itu adalah kuasa media hanya rakyat yang bisa mematahkan kuasa itu. Toh hal yang ditakuti media adalah khalayak dan ketidak percayaan khalayak teradap media itu sendiri. 

Pembentukan wacana miring mengenai Islam oleh media, dengan cara yang beragam memang dapat kita telusuri melalui pemberitaan-pemberitaan yang ada. Seperti misalnya dalam kasus razia miras oleh ormas tertentu. 

Media hanya memberitakan hal itu sebagai perilaku brutal atau premanisme. Tapi tidak melihat rusaknya masyarakat akibat miras tersebut. Atau ketika terjadi pembantaian umat Islam di suatu wilayah, media cenderung menggunakan kata bentrok, kerusuhan dan sebagainya. Penggunaan kata- kata memang mencerminkan sudut pandang tertentu.

Kini banyak sekali media yang mulai ditinggalkan oleh khalayak atas framing pemberitaannya. Bukan salah siapa tapi salah media itu sendiri jika terus seperti itu rakyat akan tersadar dan meninggalkan media yang dianggap racun bagi pemikirannya.

Dahsyatnya penguasaan wacana rusak  ini, merupakan buah dari jalinan intim media sekuler dengan akademisi, pemerintah, bahkan donatur (pengusaha). Kita tahu bagaimana media seringkali mengutip pendapat seorang akademisi (ahli) tertentu, untuk menguatkan sudut pandangnya. Tentu saja mereka hanya memuat pendapat ahli atau akademisi tadi yang sepaham dengan media tersebut.

Umat islam yang kuatpun sepertinya bisa jadi lemah jika media sekuler memframing itu. Toh media kuasa atas setiap pemberitaan. 

Bagi sebagian umat Islam hal ini dimanfaatkan dengan menjamurnya portal berita Islam. Kemudahan mendirikan media massa digital mempercepat pertumbuhan media Islam. Namun kualitas pemberitaan, sumber yang valid, verifikasi berita serta pengemasan berita menjadi tantangan media massa islam digital agar bisa disimak berbagai segmentasi pembaca. 

Masih sering kita temukan media Islam online menyajikan berita yang tak jelas sumbernya dan akhirnya diketahui hanya hoax. Pembaca yang kritis lama kelamaan akan menanggalkan kepercayaannya dan meninggalkan media ini. Namun situasi yang lebih menarik terjadi pada dunia bernama jejaring sosial. Di sinilah muncul sebuah fenomena baru gerakan Islam di dunia maya. Sebuah gerakan yang dapat dibandingkan dengan fenomenaglobal activism.

Semua kembali ke diri anda apakah khalayah akan terjajah framing ataukah tersadar dan mematahkan framing lewat budaya peradaban menulis di media sosial.

Ya media memang berkuasa tapi khalayak yang cerdas lebih berkuasa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun