Mohon tunggu...
PK SANHAN LAN RI
PK SANHAN LAN RI Mohon Tunggu... -

Pusat Kajian Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara / Deputi Kajian Kebijakan / Lembaga Administrasi Negara RI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Peran "Big Data" dalam Kebijakan Impor Beras

17 September 2018   10:51 Diperbarui: 17 September 2018   14:14 1281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beras merupakan komoditas pertanian yang terpenting dan sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Terganggunya produksi dan pasokan beras akan memberikan dampak signifikan bagi sektor lainnya seperti  sektor perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia merupakan salah satu negara produsen beras terbesar ketiga di dunia, data FAO mencatat Indonesia di tahun 2016 mampu memproduksi sebesar 77.297.509 ton beras. Walaupun jumlah produksi beras Indonesia terbesar ketiga di dunia, namun belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras dalam negeri.

Ketahanan stok beras Perum Bulog cukup fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada 2011, cadangan beras hanya 1,03 juta ton kemudian meningkat menjadi 2,32 juta ton pada 2012. Setelah itu terus menyusut menjadi 1,32 juta ton pada 2015. Lalu pada akhir 2016, cadangan beras Bulog kembali meningkat menjadi 1,62 juta ton.

Menyusutnya cadangan Bulog tersebut membuat pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton. Awalnya, impor beras ditugaskan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI, tapi akhirnya diserahkan kepada Bulog.

Kebijakan impor sebanyak 500.000 ton  beras di awal tahun 2018 seharusnya tidak menjadi kontroversi jika sejak awal kementerian terkait sudah mempunyai satu kesatuan utuh dalam hal pengelolaan data dan sumber data. Perbedaan data di Kementerian Pertanian dan Perdagangan menunjukkan pengelolaan data di pemerintahan masih belum satu kesatuan dan satu sumber.

Metode pengumpulan data yang digunakan juga berbeda antara satu instansi dengan instansi lainnya. Perbedaan ini menyebabkan kekeliruan dan perbedaan dalam menafsirkan data tersebut dan terjadi perbedaan pandangan dalam pengambilan kebijakan impor beras.

Kebijakan yang diambil Kementerian Perdagangan untuk memberi izin impor beras tahap II kepada Bulog sebesar 500.000 Ton menimbulkan kontroversi. Protes dilakukan oleh Kementerian Pertanian.

Perbedaan data antar instansi tersebut terkait stok beras nasional menyebabkan perbedaan penafsiran dan perbedaan kebijakan yang diambil, sehingga kebijakan yang diambil tersebut tidak sejalan dan menambah kerumitan dalam pembahasannya.

Data stok beras nasional dari Kemendag dan Kementan ini tidak sinkron dikarenakan perbedaan dari cara melihat dan mencari data. Kementan melihat data dari produksi komoditas beras sedangkan Kemendag dari situasi pasar saat ini.

Data yang diperoleh dari Foreign Agriculture Service (2018) yaitu lembaga yang bergerak dibidang data-data pertanian menginformasikan bahwa di Indonesia data pertanian khususnya beras dari tahun ke tahun terus mengalami perbedaan standar deviasi yang besar. Di tahun 2015 deviasi produk pertanian beras sebesar 21%, naik menjadi 24% ditahun 2016, dan terus naik di tahun 2017 menjadi 28%.

Semakin lebarnya devisi produk pertanian ini mengindikasikan bahwa ada masalah serius dalam pengelolaan data pertanian di Indonesia. Data yang tidak valid ini akan merugikan semua pihak mulai konsumen, produsen, dan pelaku usaha.

Impor beras sendiri dilakukan untuk menjaga batas aman stok beras nasional sebesar 1 juta ton dan untuk menurunkan harga beras nasional yang dinilai masih tinggi. Menurut data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, untuk beras medium harganya masih Rp 10.500/Kg padahal HET Rp 9.450/Kg.

Permasalahan perbedaan data dan informasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya juga terjadi perbedaan data yang dikeluarkan oleh pemerintah semisal data-data yang berkaitan dengan kondisi ekonomi, jumlah penduduk miskin, jumlah pengangguran, dan lainnya.

Perbedaan-perbedaan informasi ini terjadi karena pemerintah belum mengelola data secara baik dan terintegrasi. Belum ada satu data yang dikembangkan oleh instansi pemerintah, kemudian sistem manajemen Big Data yang belum diterapkan secara menyeluruh oleh instansi pemerintah menyebabkan banyak perbedaan data-data yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah.

Perbedaan informasi mengenai data yang diberikan seperti jumlah stok beras nasional akan berakibat pada pengambilan kebijakan yang tidak sesuai bahkan keliru dengan realitas yang ada. Kebijakan yang diambil dapat merugikan pemerintah baik dari sisi kredibilitas ataupun inefisiensi anggaran. 

Perbedaan data stok beras diantara kementerian pertanian, perdagangan, bulog, dan juga BPS menampakkan bahwa masih perlu koordinasi yang lebih baik diantara instansi pemerintah dalam menjalankan kebijakan dan pengelolaan data.

Perbaikan-perbaikan yang dapat dilakukan oleh kementerian terkait dalam manajemen data diantaranya :

Memperbaiki metode pengambilan data stok beras dengan menggunakan metode yang lebih baik dan dengan tingkat deviasi yang lebih kecil. Perlu amnesti data yaitu penghapusan data sebelumnya yang ada di kementerian pertanian dan perdagangan, digantikan dengan data yang lebih baik dan bersumber pada satu pintu, misalnya BPS yang punya otoritas untuk menginformasikan data ke publik.

Teknik pengambilan data stok beras oleh BPS dapat berkoordinasi dengan instansi terkait dengan menggunakan teknologi baru. Sumber data dapat diambil dari 4 dasar yaitu : Peta luas baku lahan; Peta penutupan lahan; Peta rupa bumi; dan Peta administrasi. Semua hasil pemetaan tersebut, harus di cross check dengan petugas pemantau untuk mengambil data di lapangan.

Kementerian Pertanian dapat menyempurnakan penghitungan stok beras melalui perbaikan sistem luasan lahan, dan perkiraan luas produksi padi. Kemudian adanya penyingkronan data. Demikian pula dengan kementerian perdagangan dapat melakukan penyempurnaan asumsi stok berasnya dari ketersediaan beras di pasar dan harga beras di pasar.

Pemanfaatan Big Data dalam kebijakan pertanian harus di upayakan oleh pemerintahan dengan banyaknya data yang bersumber dari banyak instansi pemerintah dalam hal ini kementerian perdagangan, kementerian pertanian, Bulog, dan BPS. Data yang banyak dan beragam dan bertebaran perlu di analisis dan di validasi kemudian hasil analisis data yang dihasilkan dari data-data tersebut dibuat untuk menemukan solusi atas permasalahan yang ada.

Pemanfaatan sistem big data, tidak terpaku pada data resmi saja melainkan juga data yang beredar di sosial media ataupun aplikasi Smartphone. Data yang bertebaran kemudian di lakukan"sensor", dimana informasi-informasi tersebut dapat dikumpulkan dan dianalisis sehingga terbentuk suatu kesimpulan agar bisa dimanfaatkan dalam pembuatan suatu kebijakan.

Ini disebut Internet of Things (IoT), dimana semua data yang beredar di dunia maya bisa diambil untuk dianalisis dan dibuat penilaian yang tepat dalam membuat tindakan yang tepat pula dan memang tindakan tersebut diperlukan dimasa depan.

Pengolahan data-data dari IoT tadi memerlukan adanya framework yang dapat memproses data dengan jumlah besar sehingga tercipta cluster-cluster atas data-data yang sudah diolah tadi, di mana cluster-cluster tersebut akan memudahkan penelusuran baik permasalahan maupun hambatan yang terjadi sehingga solusi yang dibuat akan efektif dan efisien.

Inilah yang Big Data lakukan, mengintegrasikan data menjadi landscape yang lebih luas, sehingga solusi yang dibuat bukan dari satu sisi saja, melainkan berbagai sisi.

Dengan menggunakan Big Data perbedaan data dilapangan dapat disikapi dengan analisis data. Unit-unit terkait yang terlibat langsung yaitu, petani, koperasi, Bulog, dinas daerah, LSM atau bahkan pedagang beras bisa memberikan laporan yang akurat atau data lapangan yang sebenarnya kepada kementerian pertanian atau Kemenko Perekonomian melalui pesan di media sosial maupun aplikasi smartphone khusus yang dibuat untuk memantau stok beras nasional.

Petani bisa menginformasikan data hasil panennya, koperasi dengan stok yang didapatnya, Bulog dengan data stok terbarunya, dll. Atau bahkan data yang didapat bukan hanya sekedar stok beras, tapi bisa dikembangkan menjadi data rantai distribusi, data pelaku usaha beras nasional, data jenis beras yang dihasilkan.

Dengan data lengkap dan banyak seperti itu, Big Data akan membuat cluster-cluster berdasarkan jenis data yang dibutuhkan, sehingga Kemenko Perekonomian maupun Kementerian Pertanian dapat membuat kebijakan yang tepat sesuai dengan kondisi lapangan, tidak hanya terbatas di stok beras nasional.

Dalam mengimplementasikan teknologi Big Data di sektor pertanian, ada 4 elemen penting yang harus diperhatikan pemerintah, yaitu data, teknologi, proses, dan SDM (Aryasa, 2015).

Indonesia cukup tertinggal dalam penggunaan Big Data ini. AS, Jepang, Korea, dan China sudah mulai sejak tahun 2009. Inggris dan negara-negara persemakmuran lainnya bahkan menginvestasikan jutaan dollar untuk mengembangkan Big Data ini.

Lembaga pemerintah yang sudah memulai penggunaan Big Data semisal LKPP, Ditjen Pajak, Badan Informasi Geospasial, dan Pemkot Kota Bandung, manfaatnya sangat besar diantaranya pengambilan keputusan yang efisien dan efektif, saling melengkapi data (data sharing), menghindari duplikasi data, meningkatkan kualitas data, mudah diakses, dan membangun kemitraan antar lembaga pemerintah.

Rekomendasi Penulis:

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara merekomendasikan:

  • Perbaikan teknik pengumpulan data harus segera dilakukan oleh Kementerian/Lembaga pemerintah di sektor pertanian, mulai dari sumber data yang valid dengan melakukan pemetaan  luas baku lahan; Peta
  • Penutupan lahan; Peta rupa bumi; Peta administrasi, dan di validkan dengan cross check data lapangan. Hal ini bisa dilakukan oleh BPS yang mempunyai otoritas untuk mempublikasikannya.
  • Perlu perbaikan dan sinkronisasi data antar Kementerian dengan melakukan validasi data dan kesamaan data dengan menggunakan satu metode pengumpulan data (Amnesti Data) dari Kementerian terkait dan diperbaiki dengan metode pengumpulan data yang disempurnakan;
  • Membangun sistem Big data pertanian dengan memperhatikan sumber data valid, teknologi, proses, dan SDM;
  • Koordinasi antar kementerian dengan satu data, open data, dan sharing data mutlak dilakukan oleh seluruh instansi pemerintah.

Referensi: 

Alamsyah, A. (2015). (Big) Data Analytics for Economics, Business and Management: A Social Network Approach. In Workshop Big Data Puslitbang Aptika dan IKP,tanggal 19 Mei 2015. Puslitbang Aptika dan IKP.

Aryasa, K. (2015). Big Data: Challenges and Opportunities. In Workshop Big Data Puslitbang Aptika dan IKP, tanggal 19 Mei 2015. Puslitbang Aptika dan IKP.

Friedman, J. (1997). Data Mining and Statistics: What are the Connections? 

http://www.ibmbigdatahub.com/infographic/four-vs-big-data, diakses tanggal 15 November 2015.

republika.co.id, 2018. KEMENDAG: IMPOR BERAS KARENA PASOKAN KURANG tanggal 18 Mei 2018

Sirait, Emyana Ruth Eritha, 2016.  IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIG DATA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN INDONESIA dalam Jurnal Penelitian Pos dan Informatika (JPPI) Vol 6 No 2 (2016) 113 -- 136 November 2016

www. FAO.com, 2016

www. Katadata.co.id

Ditulis Oleh :

Tim Pusat Kajian Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara, LAN-RI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun