Mohon tunggu...
Sang Wicara
Sang Wicara Mohon Tunggu... -

Pada mulanya adalah sabda

Selanjutnya

Tutup

Politik

Naif (jika) Memahami Pilkada Kaltara sebagai Pesta Demokrasi Biasa

23 Desember 2015   18:33 Diperbarui: 23 Desember 2015   18:33 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PASCA PENGHITUNGAN SUARA: Usaha Polisi Menutupi Malu

Masyarakat tidak puas. Prosesi rekapitulasi suara (19 Desember 2015) diwarnai demo penolakan hasil Pilkada. KPU jalan terus. Pindah ke kantor Pemprov. Massa bergerak ke sana. Kontak fisik tak bisa dihidari. Aparat polisi yang hanya tahu melaksanakan tugas tidak tahu duduk perkara Pilkada Kaltara. Lagipula Kepolisian daerah Kaltara masih menginduk ke Kaltim. Siapa yang tidak bisa menduga polisi ini akan berpihak kepada siapa. Tidak di level bawah, melainkan di atasnya, yaitu pejabat tinggi polisi yang memiliki hak memerintah bawahannya.

Massa marah. Aula Pemprov dan kendaraan dinas dibakar. Polisi asal ciduk 19 orang pasca kerusuhan, dengan label provokator. Polisi malu karena telah gagal mengamankan satu fase prosesi Pilkada Kaltara. Mereka kalang kabut, dan terus mencoba menghapus coreng di wajahnya. Tanpa peringatan, tanpa surat panggilan Marthin Billa dijemput paksa dari Jakarta (22 Desember 2015). Ini rencana susulan. Langsung ditetapkan tersangka, setelah berkas pengaduan Pasangan Pejuang masuk ke MK. Karena, jika MK mengabulkan pengaduan Pasangan Pejuang, pasangan IRAU bisa saja didiskualifikasi. Maka mereka mengambil langkah lebih dulu. Menjemput paksa dan menahan Marthin Billa di Kantor POLDA KALTIM.

Syahdan, kerusuhan pasca Pilkada bukan hanya terjadi di Kaltara. Pembakaran kantor gubernur, kantor bupati, sampai kantor KPU terjadi di banyak tempat di Indonesia. Tapi Polisi yang langsung menangkap pasangan calon dan mengait-ngaitkannya dengan peristiwa kerusuhan hanya terjadi di Kaltara. Bagaimana kita tidak akan menduga telah terjadi persekongkolan yang mendalam yang kait-mengkait dengan kepentingan yang lebih besar? Melibatkan kepentingan Kaltim dan Jakarta? Hingga aparat negara, penyelenggara Pemilu dan (katanya) penegak hukum bisa berpihak secara membuta?

Hari ini, 24 Desember 2015, beredar Surat Perintah Penangkapan Marthin Billa. Apa ini? Polisi sudah melanggar SOP-nya sendiri? Bukankah seharusnya dilakukan undangan pemanggilan terlebih dulu? Bukankah perlu dikumpulkan bukti-bukti dan saksi untuk bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka? Kenapa Polisi yang terkenal lamban dalam kerjanya sendiri, sekarang bergerak begitu cepat? Tidak peduli menyalahi aturan yang dibuatnya sendiri, tidak peduli bahwa tindakannya jadi bahan olok-olok nasional. Menangkap Pasangan Calon? Ini hanya terjadi di Kaltara. Dan hanya persekongkolan besar yang memungkinkannya terjadi. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun