Irianto menang. Jusuf SK kalah. Kaltim menang. Kaltara kalah. Karena Pilkada Kaltara adalah kelajutan dari kisah sejarah kelahiran dan berdirinya Provinsi Kaltara. Menang-kalah soal biasa. Benar-salah, bukan lagi perkara. Pemilihan Gubernur Kaltara berakhir sudah, tapi menyisakan tanda tanya besar. Dan mungkin potensi keributan yang sangat besar.
Jum’at, 11 Desember 2015. Kami terlambat tiba di Bandara Juwata, Tarakan. Pesawat yang seharusnya membawa kami pulang ke Jakarta sudah berada di landasan pacu. Tidak ada lagi kesempatan kami untuk bisa pulang dengan pesawat itu. Tiket untuk 7 orang hangus. Sudahlah. Lagipula, hatiku, mungkin juga hati teman-temanku, masih tertambat di Tarakan, di wajah-wajah orang Kaltara yang kami kenal dengan baik, di riak air sungai dan gelombang lautan yang kerap kami arungi selama perjalanan ke pelosok-pelosok Kaltara, dan terutama di rumah itu.
Pikiranku masih juga dipenuhi bayangan wajah dan sorot matanya. Wajah itu, sorot mata itu, akan terus ada dalam ingatanku. Dia layak mendapat tempat istimewa. Bagiku dia adalah tokoh dan pemimpin negeri yang paling hebat di antara semua tokoh-tokoh nasional yang pernah kukenal. Dia yang seumur hidupnya mengutamakan kepentingan orang lain ditepikan dari tampuk kepemimpinan Kaltara oleh kekuatan besar yang tidak bisa kami lawan. Kekuatan yang sangat kumengerti asal-usul dan tujuannya, namun tidak bisa dipahami oleh warga Kaltara dan para pemilih yang sudah menjual suaranya dengan harga semurah-murahnya.
Tidak! Aku tidak akan menjentikkan telunjuk sambil melontarkan tuduhan bahwa pasangan Irianto Lambrie-Udin Hiangio sudah berbuat curang dalam Pilkada Kaltara. Aku lebih suka mengatakan mereka berdua dan seluruh tim pemenangannya telah bertindak cerdik dan benar, sesuai dengan tuntutan zaman, sesuai dengan demokrasi elektoral yang sedang berlaku di negeri ini. Tentang keharusan-keharusan yang sudah mereka penuhi dengan baik untuk bisa menjadi pemenang. Mereka pantas merayakannya dengan pesta besar yang berderai-derai sepanjang tahun. Mereka pantas digelari sebagai petarung politik yang hebat. Tapi..., mereka bukan pejuang.
Politik sekarang tidak terlalu menggubris soal asal-usul. Tidak juga terpikat pada gagasan masa depan. Ini terkait dengan penyakit akut bangsa ini. Pendek ingatan dan ingin mendapatkan segala sesuatu dengan mudah. Kenyataan bahwa Pilkada Kaltara tidak terpisah dari sejarah kelahiran dan pembentukan Provinsi Kaltara tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat Kaltara. Yang mereka pahami, kelahiran dan pendirian Provinsi Kaltara adalah satu soal, pemilihan gubernur dan wakil gubernurnya adalah soal lain. Masyarakat Kaltara tidak pernah tahu, gubernur yang dipilihnya adalah orang yang paling menentang kelahiran Provinsi Kaltara. Apalagi kepentingan besar yang mendasari kenapa mantan pejabat tinggi Provinsi Kaltim ini begitu ngotot, menggunakan segala kecerdikan politik yang dimilikinya, mengerahkan seluruh jaringannya, untuk menduduki tampuk kekuasaan tertinggi di Kalimantan Utara.
Ini soal kekayaan alam dalam perut bumi Kalimantan Utara yang tidak boleh berpindah tangan dari penguasa dan pengusaha lama, yang sudah sama-sama menyepakati kontrak-kontrak jangka panjang ketika Kaltara belum lagi lahir dan berdiri. Jika Kaltara bisa dipimpin oleh mantan pejabat Kaltim, amanlah sudah. Tinggal urusan prosedur dan administrasi saja yang dibereskan. Kontrak terus berjalan. Pundi-pundi kekayaan yang dihisap dari perut bumi Kaltara bakal terus mengalir ke kantong mereka. Mereka! Penguasa dan Pengusaha yang dulu berkongsi di Kalimantan Timur. Karena penguasaan atas aset dan kekayaan alam Kaltara tetap berada di tangan orang-orang yang sama. Maka posisi Pj. Gubernur menjadi sangat penting. Lama waktu jabatan sampai lebih dari satu tahun menjadi sangat menguntungkan mereka. Dan mereka sudah menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
Tidak ada pembangunan yang berarti dari lamanya waktu sang mantan Sekprov Kaltim itu selama memegang jabatan sebagai Pj. Gubernur Kaltara. Birokrasi yang dibangga-banggakannya adalah birokrasi yang mengabdi kepada dirinya. Bukan Kepada masyarakat Kaltara. Buktinya, birokrasi itu begitu mudah digerakan ketika tiba masa kampanye. Tengoklah kendaraan: Perahu dan Mobil-mobil yang dipakai selama kampanye mereka. Ingatlah Seremoni penerimaan penghargaan WTP yang diselenggarakan Pemprov Kaltara yang menjijikan itu! Lihatlah sepak terjang KPU dan Bawaslu yang tidak pernah menggubris segala pengaduan. Itulah hasil kerja kecerdikan dan rencana jangka panjang Irianto Lambrie. Itulah arti pondasi birokrasi Kaltara yang kuat. Untuk mengabdi kepada Irianto Lambri, bukan kepada masyarakat Kaltara.
Masih bisa ditambahkan poster dan sticker untuk meningkatkan citra diri dan popularitas Irianto Lambrie. Cobalah tengok di warung-warung, di rumah-rumah, dan tempat-tempat publik lainnya di seluruh pelosok Kaltara. Jauh sebelum tiba masa kampanye. Selalu ada, selalu gampang ditemukan; foto Irianto Lambrie dengan tulisan “.... Kaltara terdepan.” Kemudian perhatikan baik-baik, bagaimana skema segala bantuan sosial yang diberikan kepada Aparat Sipil Negara dan masyarakat disiasati agar tepat waktunya, supaya penialaian tertingginya hanyalah dilekatkan kepada sosok Irianto Lambrie seorang!
Kaltara Terdepan?! Bukankah itu slogan kampanye Pasangan Irianto Lambri-Udin Hiangio? Apakah produksi dan pemasangan segala macam material kampenye itu dari duit Irianto Pribadi? Pastilah bukan! Itu duit negara. Itu duit dari APBD Kaltara. Kecerdikan politik tingkat tinggi seperti itu, berhadapan dengan keluguan politik masyarakat Kaltara. Habislah sudah. Masyarakat Kaltara hanya bisa mengingat citra diri Irianto Lambrie. Bukan Sekretaris Provinsi Kaltim yang pernah ngomong tidak akan maju mencalonkan diri jadi Gubernur Provinsi Kaltara.
Kemungkinan bakal terjadi demo dan kerusuhan? Sudah juga dipikirkan oleh Irianto Lambrie dan tim pemenangannya. Tim pemenangan yang dimaksud di sini, bukan tim pemenangan kelas bawah, yang ngintil ke sana ke mari ikut ke mana Irianto pergi, melainkan tim pemenangan kelas tinggi dan besar, yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara, orang-orang berpengaruh, bahkan para petinggi partai politik yang sekarang sedang berkuasa. Protes masyarakat menjadi mudah dimanipulasi sebagai tindak kerusuhan dan anarkis. Gugatan dan tuduhan curang menjadi terdengar lemah, karena data penghitungan suara menunjukkan Pasangan IRI-GALAU yang unggul. Maju terus ke Mahkamah Konstitusi? Sungguh langkah yang mudah diduga, bahkan mungkin sangat mereka harapkan. Bukankah MK itu reputasinya tak lebih dari pedagang keputusan yang sangat mahal tapi begitu banyak pembelinya? Bukankah para penghuni di MK itu bukan orang yang mau bersusah payah menemukan keadilan? Bagi mereka, jauh lebih mudah mendagangkan keputusan daripada mencari keadilan bukan?
Kalau sudah begini, jangan salahkan mereka yang turun ke jalan. Karena, di jalanan kami sandarkan cita-cita, sebab di rumah (apalagi rumah DPR dan DPRD) tak ada lagi yang bisa dipercaya! (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H