Mohon tunggu...
Sang Wicara
Sang Wicara Mohon Tunggu... -

Pada mulanya adalah sabda

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Terbuka untuk Pengikut Jokowi

18 September 2012   06:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:18 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas ideologi kita yang berbeda, kita masih saudara sebangsa. Lebih tinggi lagi, kita sama-sama manusia. Kita menghirup udara yang sama, tapi kita sepakat untuk berbeda. Kita berpijak di atas tanah yang sama, tapi kita menyukai hal yang berbeda. Ini biasa. Bukan aku atau kalian, yang berhak mengadili kebenaran ideologi masing-masing, melainkan sejarah. Inilah sebabnya, para guru bangsa berulang kali mengingatkan kita untuk belajar dari sejarah, mempelajari sejarah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, agar kita bisa mengaca diri. Agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Ideologi itu adalah gambaran masyarakat masa depan yang ingin kita capai, ingin kita wujudkan. Tentu kalian juga paham akan hal ini. Ideologi itu memiliki kekuatan pemersatu, sekaligus sanggup menggerakkan orang-orang untuk meraih cita-cita itu. Ideologi yang menjadikan ada kawan, ada lawan. Ideologi juga yang menegaskan perbedaan “kami” dengan “kalian”.  Ideologi yang menjadikan kita percaya akan satu hal dan tidak memercayai hal lain. Ideologilah yang menyadarkan kami atau kalian akan pentingnya kekuasaan. Karena dengan kekuasaanlah, sang penguasa yang kalian atau kami percayai, akan sanggup mewujudkan masyarakat yang diinginkan oleh ideologi itu sendiri.

Kepada kalian yang sudah yakin akan memberikan kuasa Jakarta kepada Jokowi. Teruskan saja. Alasan apapun yang kalian punya, pilihlah dia pada tanggal 20 September nanti. Tidak akan ada yang menghalangi kalian. Jika Jokowi jadi Gubernur, dan Ahok jadi wakilnya, kitalah, generasi sekarang, menjadi saksi jalan sejarah Indonesia yang menikung tajam. Penuh risiko. Kita sama-sama tidak tahu apa yang menghadang di balik tikungan itu. Kita hanya bisa menandainya nanti (jika benar-benar Jokowi-Ahok terpilih), bahwa Jakarta, Ibu Kota Indonesia, punya pemimpin politik seorang Cina-Kristen pertama dalam sejarah Indonesia.

Ini luar biasa tentunya. Luar biasa problematiknya. Ahok akan segera menjadi simbol yang merepresentasikan bahwa kelompok Cina Indonesia bisa juga menjadi pemimpin politik di Ibu kota. Memimpin mayoritas etnis lain, bahkan agama lain. Bahwa golongan Cina di Indonesia, sejak nusantara lama, baru pada 2012 ini sanggup mendesakkan masalah mereka paling mendasar yang tidak pernah terselesaikan. Cina di Indonesia adalah satu suku bangsa yang tidak bertanah air di nusantara, sanggup pula menduduki puncak kekuasaan ibu kota, setelah mereka menguasai urat nadi dan sumber-sumber perekonomian Indonesia. Berbangsa tak bertanah air nusantara, itulah sesungguhnya Cina Indonesia.

Camkan itu sebagai ingatan saja.

Suka atau tidak suka. Jokowi itu didukung dan dicalonkan oleh partai politik. Begitu juga Ahok. Partai politik di manapun, adalah tempat berhimpunnya orang-orang yang berwarna ideologi sama, yang bercita-cita sama. Satu partai politik satu cita-cita kemasyarakatan, satu kepentingan. Semuanya mengaku berpijak di atas kepentingan rakyat. Dan rakyat itu adalah aku, kami, juga kalian. Ada kompromi antara PDIP dan Partai Gerindra tentunya. Seperti halnya ada kompromi dan kesepakatan di antara partai-partai politik pendukung Fauzi Bowo. Ini juga perkara biasa yang selalu ada dalam setiap persekutuan politik.

Negara ini adalah hasil kompromi dan konsensus banyak kepentingan. Ketika ada satu kepentingan terlalu memaksakan diri, tidak percaya pada konsensus mayoritas, saat itulah terjadi konflik. Dua konflik terbesar dalam sejarah Indonesia Merdeka belum lewat satu abad. Kita masih mengingatnya. Itulah pemberontakan Madiun 1948, dan tragedi nasional 1965. Satu warna ideologi mencoba memaksakan dominasinya atas ideologi lain. Hasilnya, tumbal darah saudara sebangsa. Apakah Indonesia akan mengulanginya lagi? Kuasanya ada di tangan kami juga kalian, kita bersama. Dan sejarah punya caranya sendiri untuk menahan, bahkan menghancurkan ideologi yang terlalu memaksakan diri mendominasi mayoritas.

Indonesia ini adalah tempat hidup tiga ideologi besar yang juga hidup di berbagai negara di dunia. Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme. Ketiganya sudah mengalami percampuran. Sudah tidak ada lagi nasionalisme murni, seperti halnya tidak ada lagi Islamisme murni ataupun komunisme murni di Indonesia. Nasionalisme Indonesia adalah titik kompromi dua ideologi lain yang terus menerus bersaing. Kiri versus Kanan yang khas Indonesia. Nasionalisme Indonesia bisa menerima warna Islam, bisa juga menerima warna komunis. Namun komunis tidak bisa bercampur dengan Islam, begitu juga sebaliknya. Inilah realitas Indonesia. Kita sudah sepakat dengan nasionalisme ini.

Kami meyakini nasionalisme kami sebagai religius: Nasionalisme Religius. Nasionalisme yang memercayai bahwa nilai-nilai agama sama sekali tidak menghambat perwujudan demokrasi di Indonesia. Bahkan sebaliknya, agama berkontribusi besar membentuk karakter bangsa Indonesia yang demokratis. Sekarang aku ingin bertanya kepada kalian, para pengikut Jokowi, apakah warna nasionalisme kalian? Apa penjelasan kalian?

Pemilihan Gubernur DKI ini adalah peristiwa politik. Cita-cita masa depan masyarakat Jakarta ada di dalamnya. Cita-cita kami yang berseberangan dengan cita-cita kalian. Melibatkan ideologi kami juga ideologi kalian. Ini bukan ajang pemilihan idol. Melainkan pertarungan ideologi dan para ideolog. Perhatikan tokoh-tokoh di belakang Fauzi Bowo-Nachrowi, perhatikan juga tokoh-tokoh di belakang Jokowi dan Ahok. Suka tidak suka, kita harus pula bersepakat dengan mereka. Pahamilah ini agar kita tidak menjadi korban pengaruh dari para ideolog yang tidak pernah kita kenal.

Jika kalian melihat seolah-olah kami berdiri mendukung Fauzi Bowo, sesungguhnya keragaman masyarakat Jakartalah yang kami pertahankan. Kompromi banyak kepentingan masyarakat. Kami menentang kalian, karena kami selalu menentang segala bentuk dominasi, mayoritas terhadap minoritas, apalagi minoritas terhadap mayoritas.

Salam


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun