Persaingan Fauzi-Nara melawan Jokowi-Ahok dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran ke-2--dalam banyak hal--mengulang pola persaingan Pemilukada DKI 2007.Fauzi Bowo didukung oleh hampir seluruh partai politik berhadapan dengan Adang Darajatun yang hanya didukung oleh PKS. Saat itu, PKS terlalu percaya diri dengan modal perolehan suara partai sekitar 24 persen di Jakarta. Sekarang PDIP dan Partai Gerindra sama percaya dirinya, dengan modal yang lebih sedikit, 17 persen jika kedua partai itu digabungkan.
Gegap gempita kampanye, iklan-iklan politik yang menghiasi media cetak maupun elektronik, spanduk dan baliho malang-melintang di jalanan dan sudut-sudut kota Jakarta, ditambah segala macam isu yang beredar di masyarakat, hanya menyadarkan publik Jakarta, bahwa dua kubu yang bersaing merupakan penjelmaan kebersamaan melawan eksklusifisme. Fauzi Bowo yang didukung oleh semua parpol melawan PKS yang mengusung Adang Darajatun. Keragaman versus penyeragaman. Kubu Adang Darajatun kerap menyebut dirinya dikeroyok oleh koalisi Parpol pendukung Fauzi Bowo kala itu.
Pola yang sama mengemuka dalam Pemilukada DKI 2012 putaran ke-2 ini. Hampir semua partai politik di Indonesia mendukung Fauzi Bowo, kecuali PDIP dan Partai Gerindra yang sejak awal mengusung Jokowi-Ahok. Melihat dukungan besar mengalir ke Fauzi Bowo, Jokowi buru-buru menyebut dirinya sebagai semut yang dikeroyok oleh para gajah. Padahal Jokowi sendiri berusaha dan gagal merangkul dukungan parpol-parpol yang calonnya kalah pada putaran pertama.
Usaha kubu Jokowi untuk merangkul partai politik jelas tidak akan berhasil. Penolakan mereka, selain kompetensi Jokowi-Ahok yang semakin diragukan--sama seperti pada Pemilukada Jakarta 2007--sifat eksklusifnya juga sangat bertentangan dengan karakteristik Jakarta dan masyarakat Jakarta yang menghargai kebersamaan dalam keragaman. Kedua hal ini tercermin dari beragam partai yang sekarang mendukung Fauzi Bowo. Sementara Jokowi-Ahok tetap berada dalam kotak PDIP dan Partai Gerindra dan menjadi eksklusif.
Seperti pada Pilkada 2007, Pilkada 2012 putaran ke-2 juga menyajikan perdebatan yang tidak setara. Pada 2007, program calon gubernur Fauzi Bowo berhadapan ideologi PKS. Sekarang surut mundur, program Fauzi Bowo berhadapan dengan kultus pribadi Jokowi dan eksklusifisme PDIP. Ciri-ciri eksklusif kubu Jokowi bisa dilihat dari penyeragaman baju kotak-kotak para pendukung Jokowi-Ahok, dan pemihakannya terhadap pribadi Jokowi secara membuta.
Perdebatan mengenai program, jelas tidak setara dengan kuluts pribadi. Debat program menyaratkan adanya sikap kritis, sementara kultus pribadi mencerminkan ketaatan tanpa alasan yang masuk akal. Keunggulan program-program pembangunan Jakarta jelas tidak bisa dibandingkan dengan kultus terhadap Jokowi. Seperti halnya tidak bisa juga membandingkan Jakarta dengan Solo atau membandingkan Walikota Solo dengan Gubernur Jakarta.
Namun di mata para pengkultus Jokowi, Jokowi itu adalah segalanya, sanggup menjadi walikota, sanggup pula menjadi gubernur. Perkara tidak ada prestasi Jokowi di Solo, tidak akan terlihat oleh para pengkultus Jokowi itu. Bahkan berita bohong tentang walikota terbaik sedunia pun mereka telan mentah-mentah.
Beberpa indikator yang menunjukan kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas yang terus meningkat selama kepemimpinan Jokowi di Solo dianggap sebagai omong kosong dan kampanye hitam. Sikap tidak rasional dan tidak kritis seperti ini hanya ada dalam diri para pengkultus Jokowi. Mereka tidak akan pernah sanggup mengapresiasi, apalagi mengafirmasi, kemajuan dan prestasi Fauzi Bowo dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan di Jakarta. Karena untuk hal ini perlu sikap kritis yang memadai, yang tidak mungkin dimiliki oleh para pengkultus.
Semakin mendekati hari pemilihan, 20 September 2012, pengkultusan terhadap pribadi Jokowi semakin mengental. Sebagian tanda-tandanya bisa dilihat dalam sosial media dan komentar-komentar pada berita politik di portal-portal berita. Tinggal para aktivis sosial media yang dimobilisasi oleh tim kampanye Jokowi-Ahok saja yang masih terus bekerja, jumlahnya sedikit, muncul dengan banyak nama. Mengagung-agung Jokowi sambil terus mencaci maki Fauzi Bowo. Partisipan bebas, yang sempat mendukung Jokowi dan bergerak atas kemauan sendiri di sosial media, semakin surut jumlahnya. Ini bukan sesuatu yang direkayasa, melainkan gejala wajar dari karakteristik Jakarta dan masyarakat Jakarta, yang cenderung memihak keragaman dalam kebersamaan, bukan eksklusifisme yang ingin menyeragamkan lalu berhimpun dalam kotak-kotak.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H