Mohon tunggu...
Sang Wicara
Sang Wicara Mohon Tunggu... -

Pada mulanya adalah sabda

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tentang Lembaga dan Manusia Indonesia

27 Januari 2015   11:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:18 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPK, POLRI, PRESIDEN adalah lembaga. Semua orang tahu itu. Kapolri ‘BG’, Ketua KPK AS, Presiden JW adalah manusia. Semua orang juga tahu itu. Lembaga POLRI dan PRESIDEN sudah ada sebelum BG, JW, dan AS lahir. Sementara KPK adalah lembaga anti korupsi baru (2002) dalam arti nama saja.

Jauh sebelum KPK, sejarah kenegaraan Indonesia mencatat adanya lembaga-lembaga anti korupsi: Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada masa Kabinet Djuanda (1957-1959), Operasi Budhi (1963), yang kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang diketuai langsung oleh Presiden Soekarno. Tiga lembaga anti korupsi pada era Orde Lama itu gagal memberantas korupsi di Indonesia. Sampai tahap-tahap akhir Orde Lama yang berujung pada tragedi nasional (1965) korupsi tetap merajalela, dengan kekayaan para pejabat negara yang berkelimapahan, sementara bagian terbesar rakyat tetap melarat.

Dua tahun Orde Baru berkuasa (1967), Soeharto terang-terangan mengritik Orde Lama (16 Agustus 1967) yang tidak mampu memberantas korupsi dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Tak lama setelah itu dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Tak ada hasil. Dibentuk kemudian Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo, dan A. Tjokroaminoto. Tua memang tua, berwibawa memang berwibawa, tapi tidak ada tajinya ketika berhadapan dengan korupsi di Pertamina pada masa itu, apalagi menghadapi Keluarga Cendana.

Masih di zaman Orde Baru dibentuk pula Operasi Tertib (Opstib), tugas utamanya tetap sama: memberantas korupsi. Orang-orang di puncak-puncak kekuasaan pada masa itu bersilang pendapat soal cara memberantas korupsi. Dari atas? Atau dari bawah? Yang berkuasa jelas yang di atas, enggan melakukannya dari atas. Bukankah yang harus diberantas itu orang lain? Bukan diri sendiri! Seiring dengan menguatnya Orde Baru dan semakin bercokolnya para koruptor di puncak-puncak kekuasaan Orde Baru, hilang pulalah Opstib itu.

Orde Baru jatuh, menyisakan cerita tentang tumpukan kekayaan dalam genggaman tangan para pejabat dan Keluarga Cendana. Masuk era reformasi, dengan gelora semangat pemberantasan korupsi yang menggebu-gebu. Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau lembaga baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU atau Lembaga Ombudsman. Presiden Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2000. Lembaga ini dibubarkan lewat judicial review di Mahkamah Agung dengan logika yang membenturkannya dengan UU Nomor 31 tahun 1999. Nasib KPKPN terhisap oleh pembentukan lembaga baru, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada era Presiden Megawati, yang sekarang masih eksis. Dan semakin eksis saja dengan segela sepak terjangnya belakangan.

POLISI tetap Polisi. Sudah mencatat 22 nama kepalanya, termasuk Komjen. Pol. Badrodin Haiti yang bertugas sebagai Pelaksana Tugas Kapolri saat ini. Kepolisian Indonesia juga mencatat sejarah kelembagaannya sendiri dengan perubahan-perubahan nama dan strukturnya. Substansinya tetap sama: POLISI, yang dalam kesempatan ini tidak akan diceritakan panjang lebar. Intinya, tugas utama Polisi adalah melindungi warga negara Indonesia dari kejahatan. Kejahatan banyak bentuknya, salah satunya korupsi.

Karena Polisi dianggap tidak mampu memberantas korupsi, maka selalu ada lembaga lain yang khusus menangani kejahatan korupsi, sejak Indonesia mulai ajeg belajar menjalankan pemerintahan dan mengatur kekuasaan (1957) itu. Kejahatan tetap ada, Polisi juga tetap ada. Korupsi tetap ada, lembaga anti korupsi juga tetap ada. Karena kejahatan di Indonesia dengan segala bentuknya, dan Korupsi Indonesia dengan segala kekhasannya, melekat dalam sifat-sifat manusia Indonesia, bukan melekat pada lembaganya. Maka jangan terlalu tinggi berharap bahwa korupsi di Indonesia bisa diberantas tuntas oleh KPK sekarang. Dan jangan takut pula kehilangan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi, karena yang tidak boleh hilang itu adalah semangat memberantas korupsi yang melekat pada sifat-sifat manusia Indonesia yang memegang jabatan, bukan KPK-nya. KPK silahkan saja hilang, ganti nama, atau apapunlah namanya. Apalagi para komisionernya, boleh dong diganti kalau salah urus.

KPK hanya bentuk dari semangat pemberantasan korupsi. Namanya boleh ganti-ganti seperti yang sudah-sudah. Undang-undang yang mengaturnya juga bisa dibikin biar lebih jitu. Tapi kalau disalahgunakan menjadi alat untuk meraih kekuasaan oleh pengurusnya, ya ganti saja pengurusnya. Kapolri juga begitu, kalau sudah tidak bisa melindungi warga negara Indonesia dari segala tindak kejahatan, dan jabatannya dijadikan alat untuk menggelembungkan rekeningnya sendiri, misalnya, ya jangan dijadikan Kepala Polisi juga. Persoalannya kemudian menjadi pelik ketika terkait dengan keputusan yang sudah diambil Presiden.

Tapi Presiden, seperti KPK sebagai bentuk dari semangat pemberantasan korupsi, POLRI sebagai bentuk semangat melindungi warga negara Indonesia dari segala bentuk kejahatan demi menghadirkan rasa aman, Presiden adalah bentuk dari semangat manusia Indonesia akan jalannya pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang adil, orangnya bisa diganti dong, kalau sudah memerlihatkan kepantasan yang tidak memadai sebagai presiden! Mencontek misalnya (lihat https://www.youtube.com/watch?v=p_2IN1kO7-4). Karena tidak tahu jawaban yang benar, itu fatal. Ciri tidak mengerti gentingnya persoalan negara. Atau cengengesan di hadapan jutaan rakyat Indonesia yang sedang menunggu-nunggu sikap dan ucap presidennya yang benar.

Kapolri gampang diganti. Ketua KPK juga begitu. Tapi Presiden? Gak gampang itu. Ini menyangkut stabilitas negara. Ada konstitusi yang mengaturnya. Demikian pendapat sebagaian besar orang. Ya, benar. Setuju itu! Kita tempuh saja jalan konstitusi, sampai manusia Indonesia kehilangan muka, jika harus menunggu lima tahun ke depan. Keadaan darurat rasanya tidak melulu menghadapi perang. Melihat Presiden sudah seperti itu (memerlihatkan aslinya) rasanya Indonesia sudah memasuki masa darurat.

Ayolah! Bayangan tentang orang biasa jadi presiden sudah jadi kenyataan di negeri ini. Membayangkannya lagi jatuh memalukan, karena terlihat terang benderang aslinya, kenapa tidak? Jangan kita kehilangan semangat mendapatkan Presiden yang benar-benar sanggup menjalankan pemerintahan dan mengatur kekuasaan secara adil demi kepentingan rakyat banyak. Kita kan suka tertawa-tawa dan menertawai. Berani dong kita membayangkan akhir kisah presiden (rasanya tidak lama lagi) yang bisa membuat kita tertawa-tawa sedih hingga bercucuran air mata?! Karena dia adalah kita: Manusia Indonesia! Dia adalah produk citarasa kita: Manusia Indonesia!****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun