Kedua, mereka mungkin telah paham. Jika mereka melepas kekayaan atau jabatan dan hidup sederhana. Atau berhenti mengejar kekayaan dan jabatan. Itu juga tidak menjamin kebahagiaan mereka, dan kemudian hasrat akan tumbuh dan mendorong kembali untuk terus berkeinginan lagi.
Hasrat dan konsekuensinya. Bagaimana seandainya menurut kaum materialisme, bahwa hasrat merupakan reaksi hormon-hormon di dalam tubuh manusia. Dan pada suatu ketika sains menemukan sebuah alat atau obat untuk memanipulasi hormon-hormon tersebut, agar hasrat manusia menjadi tertekan atau terpuaskan. Ini bukan seperti Narkoba yang sesaat tetapi akan berefek selamanya. Dan kita bayangkan bahwa, ini adalah hal legal untuk diterapkan.
Kita bisa bayangkan jika hal ini terjadi, maka kehidupan manusia yang ekspresif itu menjadi datar, lurus, dan kaku. Kebebasan manusia menjadi terbatas, namun ia bahagia dan tak berontak. Hasrat manusia menjadi tereduksi hanya pada kepuasan semata. Namun kita hidup aman, tenteram dan damai. Asalkan memang semua orang terpuaskan dengan manipulasi hormon-hormon itu.
Ada beberapa cara manusia menghayati hasratnya. Pertama menjalani hidup dengan mengikuti hasrat saja. Pengetahuan yang kita dapat dan kecerdasan kita, hanya untuk menjustifikasi hasrat itu. Konsekuensinya kita akan menyesali tindakan itu. Kita merasa berdosa dan bersalah, serta kerugian secara fisik(sakit dan penyakit), atau kerugian secara materi. Namun jika bukan karena, sakit dan penyakit. Kadang hasrat kita timbul dan mengulangi hal itu lagi.
Kedua, menjalani hidup dengan memanipulasi atau menyeimbangkan hasrat yang timbul. Memanipulasi artinya, kita menyadari jika hasrat adalah hal yang selalu ingin dipenuhi dengan sesuatu yang ada di luarnya. Kita bisa menciptakan konsep-konsep sebagai anti tesis dari hasrat kita. Jika kita gagal atau berhasil dalam percintaan, kita percaya bahwa, cinta tidak berhenti pada kegagalan atau keberhasilan. Dan hasrat akan tumbuh kembali, setelah percintaan itu gagal atau percintaan itu berhasil.
Menyeimbangkan artinya, kita bisa menekan atau menunda hasrat kita. Bersabar dan tidak terburu-buru untuk memenuhi hasrat kita. Karena hasrat itu buta dan tidak ada toleransi untuk diri kita. Atau jika kecerdasan atau pengetahuan kita, bisa melayani hasrat, maka kecerdasan atau pengetahuan kita juga, seharusnya bisa untuk tidak melayani hasrat.
Ketiga, menjalani hidup dengan menekan atau menidakkan hasrat. Seperti yang dilakukan orang religius atau pertapa. Kita percayakan saja pada agama, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak. Kita bisa menyangkal hasrat kita dan menekannya demi sebuah kesucian. Namun kita harus bertahan dan siap, pada gejolak yang akan ditimbulkan.
Tidak ada pilihan yang lebih baik dalam berhasrat. Kita harus pandai dalam mengolah, memanipulasi, dan menyeimbangkan hasrat itu. Yang penting kita tahu, bahwa hasrat itu selalu tergantung pada sesuatu di luar dirinya untuk terus terpenuhi. Sesuatu itu hanyalah kata-kata atau simbol.
Misalnya kata bahagia, kata bahagia itu sudah pasti akan terpaut dengan kata-kata lainya. Saya ingin bahagia dalam pernikahan, maka saya harus mencari pasangan yang cocok, untuk mendapatkan pasangan yang cocok maka saya harus punya standar tertentu, setelah menikah maka saya harus bekerja, dan seterusnya. Kita terus terjebak dalam kata-kata dan simbol, sehingga hasrat itu sendiri menjadi tak terkatakan dan tak jelas.
Hasrat mungkin sama dengan konsep dari Martin Heidegger, yaitu kecemasan. Kita tidak bisa menyangkal bahwa kita memiliki itu dalam diri kita. Hasrat dan kecemasan adalah tentang bagaimana cara manusia untuk berada di dunia ini. Hasrat dan kecemasan adalah bagian dari realitas yang terus-menerus menampakkan diri pada kita.
Mendorong kita untuk terus berkeinginan dan mengambil keputusan yang penting dalam hidup. Maka di hadapan realitas itu(hasrat dan kecemasan) kita perlu bersabar dan melihat setiap sisi hasrat dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan itu, namun tidak saling menghapus setiap sisi lainnya. Â