Mohon tunggu...
Macg Prastio
Macg Prastio Mohon Tunggu... Buruh - Blogger

Rakyat Konoha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Antara Pemikiran Abstrak dan Dogma

17 Mei 2024   22:28 Diperbarui: 17 Mei 2024   22:43 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber. Noah Kocher "True Identites"

Kedua hal di atas seakan tak pernah berakhir. Entah seperti yang dipikirkan kaum saintis, bahwa realitas atau alam semesta selalu berjalan teratur dan sesuai dengan kaidah-kaidahnya. Atau realitas yang dipikirkan oleh Friederich Nietzsche, bahwa realitas atau alam semesta bentuknya selalu tak teratur serta berantakan(chaos).

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membedakan atau mencari jalan tengah. Agar kesadaran kita atau pemikiran kita menjadi terbelah, namun pemikiran itu selalu berjalan bersama dan saling mengisi.

Meskipun kita sudah mempunyai standar-standar tertentu dalam memahami realitas. Tetapi kita tidak saling mengalienasi bentuk-bentuk pemikiran lain untuk menjawab realitas.

Tidak dipungkiri bahwa, pemikiran abstrak merupakan awal sejarah, sehingga manusia menjadi berkembang pesat. Pada sejarahnya manusia sering berusaha untuk menjelaskan tentang fenomena-fenomena alam yang terjadi di sekitarnya. Seperti, mengapa bisa terjadi hujan atau lain sebagainya.

Kemudian mereka berusaha untuk menangkap siapakah yang berada di balik realitas itu. Seiring berjalannya waktu, muncullah kepercayaan-kepercayaan lokal. Yang kemudian menjadi dogma yang terus dipegang, namun masih bersifat sangat lokal. Dan setiap kelompok memiliki kepercayaannya masing-masing.

Imperium-imperium besar mulai menguasai, serta menyatukan kepercayaan-kepercayaan lokal pada setiap daerah yang mereka kuasai. Menjadi satu kepercayaan yang terpusat. Seiring berjalannya waktu kemudian imperium-imperium itu runtuh, namun kepercayaan yang holistik tersebut tetap berlanjut.

Keadaan mulai berubah ketika memasuki abad pencerahan di Eropa. Orang-orang mulai berubah, dari kepercayaan yang holistik tersebut menjadi sepenuhnya terpusat pada manusia. Orang begitu muak dengan kehidupan beragama, akan tetapi tidak serta merta agama itu ditinggalkan seutuhnya.

Ilmu pengetahuan atau sains kemudian berkembang pesat menjadi bagian-bagian disiplin ilmu. Orang-orang mulai bertanya pada keabstrakan yang melekat pada manusia. Seperti, kebahagiaan, kesedihan, cinta, keadilan atau hal abstrak lainnya.

Bagian-bagian disiplin ilmu itu, mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan abstrak itu. Kemudian memostulatkannya menjadi sistem ilmu yang terus bertahan hingga sekarang. Di antaranya, ilmu-ilmu sosial, hukum, psikologi, biologi, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya.

Perlahan keabstrakan dari kedalaman realitas ini, seolah-olah sudah terjawab dan tak perlu dipertanyakan lagi. Segala solusi, dan ilmu-ilmu tentang apa itu manusia, misalanya. Menjadi berkembang pesat hingga hari ini, namun manusia masih saja berperang, eksploitasi alam yang tak habis, kemiskinan dan kekayaan yang begitu kontras, serta persoalan HAM yang tak pernah habis.

Segala bentuk realitas pada dasarnya adalah dunia material. Demikian gaung kaum materialisme untuk menjelaskan dunia ini. Bahwa, kebahagiaan kita merupakan reaksi hormon-hormon dalam tubuh yang saling terhubung. Alam semesta ini tercipta dari materi semata tanpa ada campur tangan lain yang berkuasa.

Tanpa sadar manusia kemudian jatuh juga ke dalam dogma-dogma ilmu pengetahuan yang ketat. Semua harus bisa dibuktikan secara empiris, jika tidak bisa maka tidak bisa dipercaya dan ditinggalkan. Dunia abstrak mulai kembali ditinggalkan, dan dunia abstrak hanya dianggap sebagai angan-angan omong kosong.

Pemikiran abstrak dan dogma-dogma seharusnya berjalan beriringan. Sebab realitas terus berubah dari hari ke hari, dan dogma-dogma itu tetap. Manusia harus siap untuk membaca tanda-tanda alam, sebab realitas tidak bisa dibaca hanya dari satu sudut pandang ilmu pengetahuan saja. Maka perlu untuk saling mendengarkan dan memahami.

Pemikiran manusia harus terus menerus aktif dalam menyikapi realitas. Tidak bisa hanya bermodalkan alat-alat ilmu pengetahuan yang terkesan kaku dan lambat. Seperti Rena Descartes, dengan filsafat skeptisismenya yang meragukan segala hal.

Namun yang bertahan sekarang adalah fanatisme yang berlebih pada manusia. Yang menyebabkan selisih paham antar sesama kita. Antara agama dan sains, ideologi dan ideologi, atau bangsa yang satu dengan bangsa yang lainya. Belum lagi masalah sosial yang seakan tak pernah habisnya. Manusia terus berdebat pada tatanan mana yang baik dan buruk, namun tidak benar-benar berguna bagi manusia itu sendiri disituasi sekarang ini.

Manusia perlu untuk saling menghargai antar pemikiran. Seorang yang fundamentalis, harus terus-menerus merefleksikan dasar-dasar pemikirannya. Bisa menyesuaikan dengan keadaan yang baru atau tidak memaksakan realitas agar sesuai dengan apa yang kita pegang . Sedangkan seorang yang berpikir progresif, harus terus mencari dan memiliki pemikiran dasar yang kuat. Agar mempunyai tujuan dan pegangan, pada saat yang sama tetap siap dengan kemungkinan-kemungkinan baru dan senantiasa terbuka pada kritik.

Tapi mungkinkah ada titik temu, jawabannya ada, yaitu keberagaman. Orang hanya mungkin melihat sebuah mobil yang bisa berjalan, tetapi tak melihat banyak komponen yang bersatu padu menggerakkan mobil tersebut.

Orang harus tiba pada kepercayaan baru bahwa, ilmu pengetahuan termasuk agama adalah daya upaya untuk memahami semesta yang tak bertepi. Jika kita menjadi salah dalam satu dan dua hal, tidaklah menjadi masalah karena kita adalah makhluk yang terbatas.

Paradoksnya pandangan seperti ini sebenarnya akhirnya menjadi dogma juga. Seperti apa yang dikatakan Martin Heidegger, bahwa realitas selalu menampakkan dirinya, namun dalam penampakannya realitas sudah selalu menyembunyikan dirinya. Maka kita harus siap selalu untuk membongkar atau dibongkar untuk pandangan kita saat ini.

Pada akhirnya, kita seharusnya menerima fakta, bahwa pemikiran abstrak dan dogma tidak bisa saling menyingkirkan. Seberapa besar umat manusia menjelaskan realitas, tetapi tetap saja realitas itu selalu meninggalkan ruang kosong yang tak terselami. Entah realitas yang tak bisa dijangkau atau realitas yang ada di hadapan kita sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun