Mimpi Buruk
BUK! Salah satu pukulan pengeroyok itu tidak sempat kuelakkan, telak menghantam dadaku. Aku limbung dan jatuh ke tanah. Aku berusaha bangun.
Aku membuka mata, perlahan mengangkat badan. Mukaku berpaling ke kiri dan aku melihat Ego terlelap di sebelahku. Oh, tadi itu cuma mimpi. Aku mengusap dadaku yang terasa nyeri. Nyeri? Tiba-tiba aku tersentak oleh sebuah kesadaran. Kalau hanya mimpi, kenapa dadaku terasa sakit begini seolah baru saja dihantam suatu benda.
Aku berusaha mengingat-ingat kembali kronologi mimpi barusan.
Malam yang gelap diterangi cahaya bulan separuh. Entah kenapa suasana kembali seperti tempo dulu. Rumah-rumah masih terbuat dari kayu. Tiga orang berjubah hitam menculik Ego. Aku datang seperti seorang pendekar untuk menyelamatkannya. Gagah menggenggam pedang seperti di film-film kolosal.
“Kembalikan dia!” kataku tenang.
Sejenak mereka memandangiku. “Lupakan anak ini. Dia sekarang milik kami,” sahut ketua rombongan itu.
“Aku tidak bisa. Kalian tidak boleh." Seruku.
“Relakan saja,” jawab ketua rombongan.
Mereka mencabut pedang dan menyerbu ke arahku. Aku menyambut serangan mereka. Sebuah tarian pedang dipersembahkan. Awalnya aku bisa mengimbangi permainan lawan, bahkan mendaratkan beberapa pukulan ke tubuh mereka. Kemampuan mereka lumayan. Lama-lama aku mulai kewalahan hingga sebuah pukulan bersarang di dadaku. Dan aku terbangun dari mimpi buruk itu dengan dada nyeri.
Aku menatap sayang wajah adikku yang tertidur amat pulas seperti tidak ingin diganggu. Mungkin kecapekan gara-gara begadang malam ini untuk mengerjakan ide-idenya di depan laptop. Ia terlihat baik-baik saja. Ia masih di sini bersamaku. Penculikan itu mimpi belaka.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H