Mohon tunggu...
Abdullah Hasan
Abdullah Hasan Mohon Tunggu... -

Hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Doa Tiga Hamba #2

15 Maret 2014   14:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adikku Sayang

Aku beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Basah oleh air wudhu membuat pikiranku fresh, seolah ada buhul-buhul yang dilepaskan dari otak. Dan usai menunaikan shalat tahajjud, perasaanku terasa lebih lapang seperti ada barang-barang tak penting yang dikeluarkan dari ruang hati. Aku kembali ke peraduanku yang dialasi karpet plastik supaya kasurnya tidak bersentuhan langsung dengan lantai. Ego masih terlelap. “Ya Allah, jaga adikku,” bisikku dan kuusap rambutnya.

Ya, dia adikku sejak kami bertemu di kota Padang ini. Di Universitas Negeri Padang.

Aku mematikan lampu. Lampu yang menyala semalaman, lupa dimatikan karena ketiduran, membuat badanku tidak istirahat secara total. Masih penat-penat rasanya tubuh ini. Jam di hapeku menunjukkan pukul 04.10 dan itu artinya masih ada beberapa menit lagi menunggu subuh sambil tidur-tiduran.

Antara sadar dan tidak, alarm yang kupasang di hape berdering mengejutkan. Cepat-cepat kumatikan karena bunyinya sangat menyakitkan telinga. Azan subuh sekitar sepuluh menitan lagi. Aku bangkit mengambil wudhu ke kamar mandi. Saat aku kembali, Ego masih terbaring di kasurnya tanpa tanda-tanda ingin bangun. Kudekati ia. Mula-mula kupijat bahunya karena aku tahu begadang semalaman itu membuat otot-otot pundak kaku-kaku. Entahlah, mungkin ia merasa keenakan dan malah semakin tidak ingin bangun, tapi biarlah. Ketika azan subuh pertama  berkumandang dari masjid—sebelum ramai disusul oleh azan dari masjid-masjid lainnya, aku berbisik ke telinganya, “Bangun, Go. Sudah subuh.”

Ego bergeming. Tapi aku tahu dia mendengar.

“Go,” aku mulai mengguncang tubuhnya.

“Iya, Mas. Sebentar lagi…” sahutnya tanpa mengubah posisi tidur.

Kutarik tubuhnya dengan kedua tanganku. Berat karena ia tidak dengan suka rela menyerahkan diri. Setelah dia terduduk, kupegangi tubuhnya biar tidak roboh lagi lantas melanjutkan tidur. Sebenarnya ia merasa terganggu, tetapi tetap tersenyum kepadaku dengan mata yang bercahaya.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun