Mohon tunggu...
Den Baguse Ngarso
Den Baguse Ngarso Mohon Tunggu... -

Menulis apa yang harus ditulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wajib Militer Berarti Siap Mati tidak Mati

7 Juni 2013   15:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:23 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat kasus siswa SPTDN yang mati sia sia gara-gara dipermak kakak tingkatnya? Ingat juga kasus di Jakarta pemukulan bawahan seorang perwira lantas ,kasus penganiayaan junior taruna korps coklat oleh seniornya yang entah bagaimana kelanjutannya sekarang? Yang terpanas, kasus penyerangan mapolres OKU oleh anggota TNI… aktif !

Bisa dilihat bahwa di negara kita, tingkat kedewasaan emositerutama dari para aparat kita masih perlu diperbaiki lagi.Gampangnya, mending bertapa atau sekolah psikologi dulu yang bener lah sebelum mendidik anak-anak muda yang masih polos itu,daripada melampiaskan marah dan stress pada sesamanya dengan dibalut kata “ pelatihan”

Nah,kalau di institusi yang resmi saja masih banyak kasus siswa dan anggota mati sia-sia,bagaimana nanti para adik,kakak,pacar,atau orangtua kita yang WAMIL ketika giliran mereka dididik di dalam barak militer? Bisa jadi tidak jauh nasibnya bukan? Kalau ada kasus kecelakaan fatal pada waktu latihan,dikarenakan para psikopat emosi yang tidak jelas tadi, sudah pasti kasusnya akan diam diam dibereskan,tiba tiba mayat sudah dikirim di dalam peti berpaku beton yang tidak bisa dibuka. Atau kalau ada yang patah tulang, mereka dipaksa menandatangani pernyataan tidak akan menuntut sang pelatih atau institusi dengan berbagai dalil dan tentunya intimidasi . Atau, yang lebih parah,kita yang wanita siap dilecehkan di dalam lingkungan yang tertutup untuk umum itu ? Ingat kasus bripda cantik di mojokerto?

Jadi,masih minat wajib militer di negara yang tidak peduli dengan HAM ini?

Penduduk kita jumlahnya sekitar 120 juta orang, yang usia produktif sebagai calon militer katakanlah 10 juta orang.Kenapa tidak berusaha merekrut 1 juta saja dari mereka dengan jalan yang “ benar” ? Buka saja lowongan seluasnya untuk menjadi anggota TNI dan POLRI. Jika jalan itu tidak berhasil atau kurang cepat, bukan dengan wamil ,tetapi evaluasi dululah mengapa minat masyarakat menjadi prajurit begitu kecil? Sekali lagi, berkacalah dulu pada sistem yang korup dan kelakuan para aparat sekarang. Mau menipu diri sendiri dengan mengatakan proses perekrutan dan kenaikan pangkat mereka bersih dan professional? Pedagang sayur di desaku saja tahu berapa duit yang harus disetor untuk bisa menjadi bagian mereka,karena pengalaman anaknya dulu yang pernah gagal diterima karena setorannya kurang,padahal hasil tesnya baik semua. Belum lagi sinetron kelakuan para jenderal korup di media sekarang. Jadi, wajar bukan kalau rakyat eneg mendaftar jadi aparat?

Daripada wamil, mending bersihkan dulu intitusi militer dan keamanan di negeri ini. Jadi rakyat akan sangat berbangga hati turut serta menjadi bagian pertahanan negara yang kuat,professional,jujur,baik dan ikhlas itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun