Mungkin Anda semua berpikir kalau saya penjual celana jins :-). Bukan. Saya menulis pengalaman saya berkaitan dengan dua hal di atas.
Tino (bukan nama sebenarnya) tiba-tiba membuka pintu kamar saya dan berkata, “Gun, ada uang?”
“Ya ada dong,” Mata saya tetap menatap layar laptop karena banyak kerjaan yang harus diselesaikan.
“Boleh nggak aku pinjam?”
Dalam hati, saya jengkel juga. Tino ini selalu terbelit masalah uang. Padahal dia guru di sekolah yang top di kota ini (nama sekolah dan kota dirahasiakan :-)).
“Untuk apa?” Saya bukan tipe orang yang langsung memberi pinjaman. Saya harus tahu untuk tujuan apa.
“Aku habis duit. Sudah kupakai buat bayar kredit motor kakakku dan selebihnya kukirim ke bapakku di desa.”
“Mau pinjam berapa?”
“200 ribu.”
“Nih,” Tanpa pikir lama, saya berikan.
Selain karena kasihan, selama ini dia juga tak pernah meminjam uang dari saya .
Mungkin gengsi, pikir saya .
Tapi sekarang sepertinya dia tak punya pilihan lain.
“Kukembalikan di awal bulan ya.”
“Oke” ujar saya singkat, meskipun saya kurang yakin akan janjinya.
Selama ini, kalau dia berjanji selalu tidak pernah berkaitan dengan uang. Palingan ketemu dimana untuk suatu urusan tertentu. Dia selalu tepat waktu.
Untuk masalah uang, Tino belum teruji.
Kamu baru tahu temanmu orang seperti apa sampai kamu mempercayakan sejumlah uang kepadanya.
Saya teringat ucapan seorang yang terkenal, yang saya lupa namanya, dan pernah saya baca di internet.
Saya pun ingin menguji orang seperti apa teman saya ini.
Awal bulan, sudah terlihat gelagat yang kurang baik.
“Bulan depan aja ya, kukembalikan.”
Saya pun mengangguk saja, meskipun dalam hati sudah mulai meragukan ucapan Tino.
Bulan kedua, “Sori, Gun,bulan depan ya. Ada keperluan mendesak.”
Nah, saya sudah ragu dengan kadar 75 persen. Saya tidak yakin apa yang dikatakan Tino akan terwujud di bulan depan
* * *
“Celana Jins?”
Kata itu yang keluar dari mulut saya, setelah mendapat celana jins itu.
Tentu saja saya kira pada awalnya, itu adalah hadiah, tapi ternyata ….
“Itu pengganti utangku ya, Gun.”
“Mana bisa begitu!”
“Lho, itu harganya lebih dari 200 ribu! Adikku ngambil di Jawa. Kualitas bagus.”
Merek tidak ada. Paling ngambil kodian, karungan, dari hasil produk nggak laku di Malaysia. Masa dibilang kualitas bagus!
Saya jadi tahu ‘kualitas’ Tino sekarang. Sejak saat itu, saya tidak percaya padanya, kalau menyangkut uang dan utang.
Apabila dia meminjam uang lagi, tidak akan saya ladeni!
Bisa-bisa dia akan mengulangi perbuatan yang sama atau bahkan lebih parah lagi.
Mungkin dia akan menyamakan nilai uang satu juta dengan sekarung celana dalam yang dia bilang diimpor dari amrik :-).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H