Malam itu terasa pekat, gelap, sepi. Kulitnya seolah menyatu dengan warna langit. Begitu Panjang ia harus menanti munculnya matahari. Di sampingnya, Ibunya telah tidur berselimutkan air mata. Entah apakah wanita itu nyenyak atau lelah. Malam itu hanya ada suara alam dan suara kerja bapaknya yang membongkar-bongkar, membalik-balikan arang.
"Bangun nak! Bangun! Lekas cuci muka. Ini ada kue baroncong dan putu". Ia menyantapnya  dengan lahap tanpa cuci tangan apalagi cuci muka. "apa peduliku cuci muka, yang penting makan. Siapa bawa makanan ini ma'?" tanya anak itu.
"dari pak RW, katanya titipan dari posko. kesanalah".
 Masih belum juga cuci muka. Anak itu berjalan ke depan. Melewati tanah hitam. Aroma gosong masih tercium di hidungnya. Hati-hati ia melangkah di atas tumpukan arang yang berasal dari terbakarnya beberapa rumah.  Ternyata teman-temannya sudah lebih dulu datang. Rudi, Rezky, dan Naila. "siapa mereka ? sudahmi bagi-bagi uang, Rudi ? "uussst! "pak RW bilang nanti sore kita kumpul di posko, ada kakak-kakak yang ingin datang bermain!" seru mereka.
"Sabtu sore, siapa lagi yang mau datang itu ?Jangan-jangan Caleg  yang hanya ingin mencari suara, pencitraan atau apalah?" begitulah keluhan Alif kepada ibunya sesampai di rumah. Memprotes kondisi hidupnya. Disaat cobaan menerpa, masih ada saja pihak-pihak yang memanfaatkannya.
"Sudahlah, kau ini seperti pengamat di TV. Ikut saja! Mau makan apa kalau tak dapat bantuan dari posko" Paksa ibunya pada Alif.
Sorenya, anak-anak korban kebakaran mendatangi posko, ada yang ditemani orangtuanya dan ada yang melihat dari kejauhan.Di depan mereka dan masyarakat arang, seorang wanita bercerita dengan ceria. Gerak dan tingkahnya seperti ingin merambatkan keceriaan di tanah hitam ini. Menyapu kesedihan, duka dan trauma. Di wajah anak itu dan teman-temannya mulai terukir senyum saat mendengar cerita tentang Modo, si hewan Komodo:
Cerita dari wanita bernama kak Anti seakan menceritakan kisah anak berkulit gelap itu. Duduk di bangku kelas 6 SD, tetapi belum lancar juga membaca dan menulis. Bedanya Modo dan anak itu: Modo memiliki teman yang membuatnya bangkit. Sedang anak itu tidak. Ia masih menunggu takdir Tuhan. Takdir yang ia harapkan dapat mengangatnya tuk berdiri sebagaimana gagahnya matahari merangkak naik tuk mengusir gelap.
Mereka larut dalam permainan. Cengingisan, senyuman, tawa. Mereka tak sadar bahwa permainan itu berisi kampanye anti korupsi. Permainan itu adalah sarana pendidikan anti korupsi. Ada disiplin, tanggung jawab, jujur, sederhana, peduli, mandiri, pemberani dan kerja keras. Suasana bahagia dari permainan itu membuat anak-anak dengan senang hati mendengar nasihat dari kakak yang humor itu bagaimana berperilaku jujur dalam setiap aktivitas. Mulai dari aktivitas sederhana seperti bermain permainan ini.
Setelah permainan berakhir. Alif masih menunggu kegiatan selanjutnya dari kakak-kakak yang mengasyikkan ini. Sebuah rangkaian Kegiatan "trauma healing" dari komunitas SIGI (Sahabat Indoensia berbagi) dan Obat Manjur (Orang Hebat Main Jujur). Detik berganti menit. Ternyata kegiatan telah usai.Â
Ia mulai khawatir bilamana kesedihan kembali menerpa dirinya. Begitu pun dengan tiga belas keluarga arang yang telah kehilangan rumah. Ti-ga be-las. Tiga belas keluarga di jalan Andi Tonro kini bernaung di bawah langit dan berdindingkan kesedihan. Sambil membawa stiker berwarna merah dan putih bertuliskan "aku anak jujur", Ia menghampiri lelaki yang mengajaknya bermain kwuartek tadi. Ia bertanya dengan suara datar,
"Kak Fadil dan kakak-kakak yang lain kerja dimana? kok tidak pakai seragam kantor". Belum sempat dijawab, ia bertanya lagi. "apakah kakak dan lainnya akan berkunjung setiap hari?"
Setelah kak Fadil menjawab dan menjelasankan. Alif seperti mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sering berkutat dikepalanya: mengapa Tuhan menghadirkan ia kedunia ruang kumuh ini. Tuhan pun menghadirkan api yang melahap rumah kumuh keluarganya. Alif kini mengetahui bahwa kakak-kakak yang datang adalah sebuah komunitas. Terdiri dari pelbagai macam profesi.Â
Kak Fadil pun yang seorang pengacara, memiliki jiwa sosial dan sikap integritas untuk melawan korupsi, ternyata dahulu bernasib tak jauh lebih buruk dari Alif saat ini. Adalah nilai-nilai kejujuran, kerja keras dan rajin belajar harus Alif tanamkan. sejauh mana mempersiapkan diri untuk masa depan.
"Tuhan, apakah pertemuan singkat ini dengan mereka adalah permulaan dari Takdir baru yang aku selalu ucapkan dalam setiap doa? Haruskah Engkau bakar dulu rumahku agar mereka datang" ucapnya kepada langit. (12/09/2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H