Mohon tunggu...
Danang Nur Ihsan
Danang Nur Ihsan Mohon Tunggu... -

Aku hanyalah jurnalis kecil di sebuah media kecil dan berbicara tentang hal-hal yang kecil dan dekat dengan orang-orang kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Virus Homo Jakartensis

29 Agustus 2011   00:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku benar-benar pangling dengan kawan lamaku. Mungkin karena lama tak bersua, mungkin daya ingatku lemah atau mungkin karena penampilan kawanku ini berubah total.

Dua tahun lalu, aku mengenal kawanku sebagai sosok yang lugu, kalem dan pendiam. Gaya bicaranya halus dan suka berpakaian rapi. Saking rapinya, entah kemeja, t-shirt ataupun kaus oblong selalu dimasukkan. Celana andalannya adalah kain halus. Saking seringnya diseterika, sampai-sampai, ada garis lurus di bagian depan celana yang membujur dari atas sampai bawah.

Senyum tipisnya sampai kini tak berubah. Senyum tipis itu pulalah yang membuatku mengenali sosok kawanku itu. Selebihnya, penampilannya berubah total. Kaus oblong yang dikenakan sedikit junkies, celana jeans ketat gaya pensil. sepatu ket merek Converse warna hitam. Aku tersenyum simpul melihat perubahan penampilan kawanku itu.

Senyumku mengembang menjadi tawa kala dia menyapaku "Sori jack nunggu lama ya. Biasa kena macet. Yuk kita berangkat, mampir di rumah gue dulua ya."

Rupanya kawanku ini sudah berubah. Sosok kawanku yang lugu pendiam dengan gaya pakaian yang terkesan culun tinggallah kenangan. Kini dia menjelma menjadi sosok anak muda yang aku yakini gaya berpakaiannya bakal menjadi trendsetter di kampungku.

Kalau melihat kawanku itu aku tertawa ringan, maka saat melihat Inah, tetanggaku yang baru saja mudik dari Jakarta bisa membuatku tertawa terbahak-bahak. Kemarin, aku bertemu dengannya di sebelah langgar kampung. Sudah dua hari dia datang kembali di kampung halaman. Waktu itu dia baru pulang dari pasar. Aku benar-benar dibuat pangling. Pakaiannya warna pink, celana panjangnya warna biru dan dia menggunakan bandana warna ungu. Ngejreng. Belum lagi bedak tebal yang menutupi wajahnya. Sungguh berbeda dengan Inah yang dulu masih kecil dan pemalu.

Kawanku dan Inah, tetanggaku itu rupanya sudah terkena virus Homo Jakartensis. Seno Gumira Ajidarma menyebut Homo Jakartensis adalah sosok orang-orang Jakarta dengan atribut bernama sukses yang melekat di dalamnya. Bukan salah kawanku ataupun Inah kalau mereka menjadi Homo Jakartensis. Mereka tak pernah salah karena keadaan memaksa mereka. Mereka dipaksa menjadi Homo Jakartensis atau mereka tersisih dari pusaran kehidupan. Menjadi Homo Jakartensis bukan lagi sebuah pilihan tapi keharusan, apalagi saat Lebaran.

Mereka para Homo Jakartensis dipaksa harus tampil sempurna ketika tiba di kampung halaman, diharuskan terlihat “wow”, “wah” dan “ngetren”. Pada intinya mereka dipaksa terlihat sukses setiba di kampung halaman. Ya, mereka para Homo Jakartensis harus tampak sukses saat Lebaran kalau tidak ingin mendapat cibiran, mereka harus terkesan sukses kalau tidak ingin dikatakan gagal. Apakah mereka para Homo Jakartensis itu benar-benar sukses ataupun pura-pura sukses, hanya mereka yang tahu. Dan sebentar lagi semakin banyak para Homo Jakartensis yang bakal aku temui. Semoga mereka benar-benar sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun