Aroma pantai. Hawa panas dengan sedikit tiupan angin. Bau asin menyeruak ke mana-mana. Di sebuah rumah sederhana di Desa Sumur Tawang, Kragan, Rembang, kenangan tentang sosok YA Sunyoto kembali terbuka.
Di rumah yang tidak lebih dari 500 meter dari bibir pantai utara Jawa, Sunyoto kecil tumbuh kembang. Melihat rumahnya yang bertetangga dengan pantai, tak salah kiranya Sunyoto disebut anak pantai yang memerankan diri seperti pantai dalam kehidupan. Pantai, tempat di mana kita bisa menjernihkan pikiran. Tempat di mana dialektika darat dan laut tampak di depan mata dan pantailah yang menjadi penghubungnya.
Dari pantai, Sunyoto muda menuju Bogor. Kota yang menjadi pelarian orang-orang yang sumpek dengan tetek-bengek masalah kehidupan. Seperti kota itu, Sunyoto sering menjadi tempat pelarian anak-anak muda untuk belajar tentang kehidupan. Bogor dan Sunyoto sama, memberikan pelajaran tentang hidup tanpa pernah mengguruinya.
Sunyoto dewasa menjelma menjadi seorang jurnalis di Ibukota Jakarta. Jakarta, tempat di mana riuh rendah kehidupan menyatu dan berpadu. Tempat di mana haru biru tawa kebahagiaan dan duka lara kesedihan tak memiliki batasan yang tegas. Dan Jakarta telah membentuk Sunyoto yang selalu renyah dengan tawa khasnya dan mentertawakan kehidupan. Jakarta pula yang membentuknya menjadi manusia gelisah atas segala duka lara kehidupan.
Di Solo, sebuah kota yang memadukan “masa lalu” dan “masa kini” dalam kehidupan, aku mengenal Sunyoto. Dalam waktu singkat, dia telah menjadi bapak, sabahat sekaligus atasan bagi anak-anak muda yang sedang gandrung dengan jurnalisme. Dia mengajak anak-anak muda untuk selalu tertawa tanpa pernah melupakan duka-lara hidup. Dia membagi kata untuk menjadi bahan diskusi dan perenungan. Pertengahan September 2010, Sunyoto meninggalkan kami anak-anak muda dengan setumpuk tawanya, segudang katanya dan secercah impiannya.
Di sudut Kragan, Rembang, Sunyoto menyatu bersama bumi. Jauh dari keramaian, damai bersama alamnya. Kami, anak-anak muda yang menemuinya, menghantarkan doa, berbagi cerita dan mengenangnya. Bukan sekadar untuk mengingat tawa, pesan atau jasa-jasanya tapi untuk melanjutkan mimpi-mimpinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H