Kota itu bukan kota yang berdiri sendiri dan mandiri. Namun, umur kota kecil ini sudah tua. Bahkan lebih tua dari negara induknya. Orang mengibaratkan, kota ini adalah bidan yang setia menimang negera induknya sebagai bayi.
Di kota tua itu, sebuah sistem pemerintahan kuno telah terbentuk sejak dulu kala. Sistem pemerintahan yang dianggap paling purba. Sistem pemerintahan yang penguasanya turun-temurun. Penguasanya disebut raja dan daerah kekuasaannya dikenal dengan kerajaan. Orang modern menyebutnya sistem monarki.
Kala itu, kerajaan itu berada dalam sebuah negeri terjajah. Saat gegap gempita revolusi negeri terjajah menyeruak, kerajaan itu pun larut dalam revolusi itu. Banyak yang bilang, kerajaan itu punya andil besar lahirnya negara yang baru saja melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Dan sejarah menceritakan, kerajaan itu menyatakan penyatuannya kepada negara itu karena ikatan senasib sepenanggungan zaman revolusi. Sang bidan pun menyatakan penyatuannya kepada bayi yang baru lahir.
Kerajaan itu pun akhirnya mendapatkan keistimewaan oleh negara baru itu sebagai imbal balik atas perannya saat zaman revolusi. Raja di kota itu secara otomatis akan menjadi pemimpin administrasi kota. Sang raja merangkap jabatan sebagai pemimpin kota dalam sebuah tatanan negara yang katanya menganut sistem demokrasi.
Sistem monarki yang sudah lama dianut akhirnya berpadu dengan sistem demokrasi yang dianut negeri itu. Dua sistem itu bergumul, menyatu dan berpadu dalam kota itu. Puluhan tahun lamanya sistem kuno monarki itu berpadu dengan sistem modern demokrasi. Itu yang akhirnya disebut orang dengan keistimewaan kota itu.
Keistimewaan itu telah mengakar dan mendarah daging bagi penduduk kota tua itu. Tak hanya penduduk asli kota itu, ribuan anak muda yang mendatangi kota itu juga ikut memetik buah manis dari keistimewaan itu. Percintaan sistem monarki dan demokrasi melahirkan ekostisme kota yang bernama pluralisme.
Kota itu masih percaya dengan Sabda Pandita Ratu, tapi perbedaan pemikiran dan pendapat bukan barang haram di kota itu. Kota itu masih setia nguri-uri akar budaya yang lahir dari nenek moyang, namun tidak menolak mentah-mentah arus globalisasi. Perpaduan antara “kekunoan” dan “modernitas” itu yang semakin membuat istimewa kota itu.
Kota itu semakin istimewa saat ribuan orang dari berbagai suku bangsa, dari berbagai agama, dari berbagai penjuru negara ini berkumpul di kota itu. Akhirnya kota itu menjadi manifestasi dari negara itu.
Di kota monarki itu, anak muda belajar dan mengenal demokrasi. Di kota kecil itu anak-anak muda berbisik-bisik soal revolusi. Mereka lelah dengan sistem demokrasi yang belum juga menyejahterakan rakyat jelata dan berpikir revolusi menjadi solusi.
Kini kota monarki itu digugat oleh pemimpin negara. Monarki dianggap menghalangi demokrasi. Mereka yang ada di kota itu bertanya-tanya apa yang terjadi. Ada yang merasa pemimpin negara lupa sejarah. Namun, ada pula yang merasa pemimpin negara hanya menjalankan konstitusi.
Rakyat jelata di kota itu menunggu keputusan para pengurus negara. Apakah kota itu akan menjadi monarki seutuhnya yang artinya sang bidan tak lagi menggendong bayinya. Apakah kota itu menjadi demokrasi seutuhnya yang artinya melupakan semua sejarah masa lalu. Atau apakah mereka para pengurus negara itu membiarkan perpaduan monarki dan demokrasi terus terjadi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H