Mohon tunggu...
Danang Nur Ihsan
Danang Nur Ihsan Mohon Tunggu... -

Aku hanyalah jurnalis kecil di sebuah media kecil dan berbicara tentang hal-hal yang kecil dan dekat dengan orang-orang kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negeri 5 Bukit

27 November 2010   11:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:15 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari masih pagi. Baru jam setengah tujuh pagi dan matahari belum mampu menembus kabut yang menyelimuti daerah Karanganyar. Hawa dingin khas pegunungan sudah mulai terasa saat mobil pikap sewaan melintas di Pasar Karangpandan, Karanganyar.

Nuansa khas pegunungan semakin terasa kala mobil pikap yang mengangkut enam orang (termasuk saya) dengan “istrinya” masing-masing (baca: sepeda) memasuki jalan menuju Kecamatan Ngargoyoso.

Sebuah kecamatan yang berada di lereng Gunung Lawu. Petani mulai beraktivias di ladang sayur mereka, ibu-ibu menggendong anak di depan rumah menyambut pagi dan para pelajar menghiasi jalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda menuju sekolah.

Candi Sukuh adalah tujuan kami. Candi yang berada di ketinggian 1.186 meter di atas permukaan laut akan menjadi awal dari perjalanan bersepeda kami. Candi Hindu ini tidak terlalu besar, namun cukup terkenal. Salah satu yang membuat candi ini terkenal adalah banyaknya lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Banyak orang menyebutnya candi paling eksotis se-Indonesia.

Tepat satu setengah jam perjalanan dari Solo, kami tiba di pelataran Candi Sukuh. Hutan pinus yang mengelilingi candi ini semakin menambah kesan eksotis. Tiga kata untuk menggambarkan candi ini, natural, eksotis dan sensual.

Hutan pinus yang ada di belakang candi itu menjadi tempat bagi kami untuk pemanasan. Hawa dingin dan tiupan angin selama perjalanan membuat kaki-kaki kaku dan tubuh malas bergerak. Satu dua kayuhan cukup membuat kami sedikit berkeringat dan siap menyambut perjalanan sesungguhnya, Candi Sukuh-Tawangmangu.

Jalan perkampungan menjadi awal perjalanan. Seperti jalanan perkampungan pada umumnya, apsal tipis sudah mulai mengelupas sehingga menyisakan krikil-krikil dan tanah. Jalanan masih landai, banyak datarnya (aku menyebutnya bonus). Namun itu hanya sekitar satu kilometer pertama, setelah itu kami mulai menghadapi tantangan yaitu turunan.

Bersepeda melintasi jalanan yang menurun terkesan mudah, tapi apa jadinya kalau turunan itu curam, lebih dari 60 derajat. Bahkan ada turunan yang nyaris vertikal. Belum lagi turunan itu bukan jalur lurus, tapi berkelok-kelok dengan bumbu jalanan rusak. Membiarkan sepeda melaju kencang tanpa mengerem, itu cukup berbahaya karena jurang-jurang curam mengangga di tepi jalan. Menggenggam rem dengan kuat, juga tak kalah bahaya karena roda-roda dipaksa berhenti dan bisa membuat kami terguling (baca: cinta tanah air).

Jalan tengahnya adalah beraksi dengan memainkan rem. Mencengkram rem kemudian melepaskan rem, membiarkan gravitasi bumi menelan kami. Begitu dilakukan berulang-ulang. Cengkram, lepas, cengkram, lepas. Mungkin dari kami hanya satu orang “gila” yang sangat sedikit memainkan rem karena dia begitu cinta tanah air (hehehehe).

Begitu tiba di ujung turunan, maka sambutan hangat tanjakan ada di depan mata. Kali ini yang dibutuhkan adalah kekuatan kayuhan dan nafas panjang. Kami tidak memiliki modal untuk berancang-ancang karena setiap tanjakan diawali dengan tikungan tajam. Gear belakang sudah maksimal di paling besar dan gear depan paling kecil (kayuhan ringan) tidak banyak membantu. Baru seperempat tanjakan atau setengah tanjakan kami angkat tangan.

Ketika tenaga semakin terkuras dan tubuh melemas, semangat kami pun mulai meredup. Akhirnya, kami memilih rehat di sebuah sumber mata air. Tlogo Madirdo namanya. Memasuki sumber mata air itu seperti memasuki “dunia lain”. Tepat berada di bawah sebuah bukit, Tlogo Madirdo masih begitu alami, meski tampak jelas daerah itu sedang dibangun menjadi tempat permainan outdoor. Sumber air menyembul di salah satu sudut bukit dan membentuk sebuah danau kecil. Gubuk-gubuk kecil mengelilingi tlogo itu. Airnya jernih hingga kami bisa mengaca dari air itu.

Setelah tenaga kembali terkumpul dan semangat kembali menggelora, perjalanan kembali dilanjutkan. Jalur yang dihadapi nyaris sama. Turunan curam baru kemudian disambut dengan super tanjakan. Kala menghadapi setiap tanjakan seakan menemui tanjakan tanpa ujung, begitu menanjak dan berat. Dari puluhan tanjakan yang kami lalui, saya hanya bisa menuntaskan satu tanjakan di atas sadel sepeda. Selebihnya, seperempat, setengah tanjakan saya lalui dengan menuntun sepeda. Tapi itu sudah cukup baik dan saya mengklaim sebagai raja tanjakan karena hanya saya yang mampu menuntaskan satu tanjakan utuh, sedangkan lima kawan saya sudah angkat tangan.

Medan yang ada memang terasa berat, tapi sensasi pacuan adrenalin saat turunan, naluri dan keinginan untuk mengalahkan tanjakan, tepian hutan yang setia menemani selama perjalanan, petani yang sibuk dengan tanaman sayuran dan bunga mawar di sudut-sudut jalan membuat perjalanan bersepeda begitu menyenangkan.

Setelah dua jam lebih perjalanan bersepeda, kami tiba di Tawangmangu. Dan di ujung perjalanan, kami baru sadar, kami telah membelah bukit-bukit antara Candi Sukuh-Tawangmangu. Perjalanan begitu melelahkan, sudah saatnya menutup perjalanan dengan sarapan pagi, sop buntut Bu Ugik, Tawangmangu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun