Orang seberang datang ikut memeriahkan pesta. Bawa banyak rupa parang, tampang, benih dan sedikit lembar bernama dan ceritanya sangat berharga. Bisa membeli kesejahteraan penghuni desa yang sedang dan akan berpesta. Negosiasi demi negosiasi berjalan alot dalam mabuk kuasa. Dukung mendukung berpola. Tua muda berbeda pilihan. Kecil besar bersitegang. Dan banyak yang mojok memadu cumbu dengan pembawa parang.
Tampang gagah dan cantik hipnotis birahi. Sebab cinta anak beda lorong ditolok mentah. Bapak tidak restu, sebab ia berbaju lusuh karena termakan usia. Cukup kasih tambalan paksa dengan merobek hati. Pakaian lusuh tidak sepantasnya ikut pesta pora.
Ibu menanti sabar kapan anak tidak pulang larut. Membawa keletihan, luka, kecewa. Sebab Bapak lelah sesumbar adu pantun tak berisi. Sorak sorai tetap membahana. Pesta mesti panjang. Bergagah-gagah untuk dinyatakan menang atas pemilihan semua berKTP. Sebab bila kalah. Maka berbagai sampah berlumpur akan disandang.Â
Berfoto, dan menjadi cerita mulut ke mulut dengan gambar blur. Akan menjadi oleh-oleh para tetangga beda negara dan bangsa.
Sebelum, panas nafsu kuasa menjadi kelahi fisik. Terbelah dengan dendam membara. Bulian catatan berturut kata. Masih ada jeda angin dingin dari rintihan do'a. Lembut dibawa angin memasuki relung telinga bersumbat.
Masih ada jalan damai, cara beradab, dan aturan yang tersimpan sebagai pusaka. Jarang dibuka, didedah sebagai pengingat bahwa bangsa sebagai Ibu dulunya gadis cantik rupawan 'diperkosa' penjajahan. Bapak negara hadir menyelamatkan untuk bisa menjadi satu keluarga. Setara dan sebangun sesama negara dan gadis bangsa yang juga telah bersunting.
Sebab pergaulan dalam reunian dengan banyak tema. Tidak elok, terlihat bahwa Bapak Negara babak belur menundukkan muka. Sebab terlena minuman dan makanan kemodrenan, tanpa mesti susah payah membentuk sendiri. Cukup dengan tanda tangan. Bangsa sebagai ibu bisa dinikmati bersama oleh kerakusan secara bergilir atau bersama-sama.
Bapak pengelola Negara, Ibu perawat bangsa. Panggillah anak-anak duduk bersila. Menyelesaikan perkara demi perkara, tentang tanah, air, emas dan laut, air dan bentangan alam untuk dikelola berdasarkan kearifan dan kebijaksanaan kakek-kakek pejuang yang telah berkalang tanah.Â
Membuka pusaka, memakai baju kehormatan yang tumbuh dalam diri pewaris kepahlawanan. Dan mengembalikan secepat mungkin, perkakas yang tidak dimegerti oleh anak-anak bangsa yang belum dilahirkan. Sebab pemuda dan pemudi siap kawin kapan saja, tidak lagi mau terikat dan mengikat dalam pernikahan.
Sebab apa yang dibawa pemuda tampan dan pemudi bidadari dari tanah seberang, lebih dipandang dan gaul. Walau hanya penikmat dibalik layar kecil sudah sampai kemana-mana.
Setelah pesta demokrasi, tetap meninggalkan kelelahan jiwa. Luka berjalin dendam. Kepercayaan yang matang dipaksa. Membusuk di dalam menjalar dalam pikiran.Â