Sampah adalah permasalahan sepanjang manusia hidup. Sampah merupakan hasil akhir dari proses hidup manusia dan alam semesta. Sampah dari alam semesta mampu diolah kembali dan bermanfaat bagi sebuah siklus hidup alam. Berbeda dengan sampah hasil karya kreatif manusia.
Ia menjadi permasalahan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Salah satu sampah dari hasil demokrasi yang bergulir paska reformasi 1998 adalah pemilihan langsung kepala daerah, provinsi dan presiden dan tak lupa DPR. Siapapun memiliki kesempatan untuk berpartisipasi untuk dipilih sesuai dengan kemampuan.
Menyampah dan merusak pemandangan itulah hasil pengamatan penulis ketika memasuki kota padang. Berbeda dengan iklan produk dari perusahaan yang masih memiliki etika dan juga penempatan yang memiliki aturan dari pemerintah. Sedangkan baliho calon walikota, spanduk dan berbagai bentuk pamflet bertebaran entah dimana.
Setiap pohon akan mendapat tumpangan yang menyakitkan. Biasanya pohon menjadi terminal bagi tumbuhan seperti lumut, anggrek dan sekali-kali burung membangun sarang untuk melanjutkan generasi. Tumpangan ini bukan sebuah ekosistem yang indah dan sedap dipandang mata, namun pemandangan yang menampilkan wajah-wajah yang telah masuk dalam rekayasa digital.
Kota Padang akan melaksanakan pemilihan walikota pada bulan Oktober 2013, mau peminatnya berapa? ada 28 calon walikota yang belum mendapatkan kendaraan politik. Hanya ada beberapa orang yang telah mendapatkan kendaraan politik.
Jika setiap kandidat mencetak 1.000 baliho maka akan ada 28.000 baliho di sepanjang jalan dan perkampungan di Kota Padang. belum termasuk dengan brosur, pamlet dan juga spanduk yang hadir setiap moment. Semuanya akan menjadi sampah visual pemandangan mata masyarakat dan pengunjung dan benar-benar menjadi sampah ketika semua proses pemilihan telah selesai. Semua masuk tong sampah, hanya beberapa yang bisa dimanfaatkan oleh tangan kreatif. Sedangkan bagi pemulung ada berkah tersendiri, dengan syarat ukuran besar.
Kenapa tampilahan wajah dalam baliho dan spanduk bertebaran dihampir setiap jalan? hal ini bisa di preteli lewat disiplin ilmu komunikasi publik. Ada kegagalan komunikasi kandidat dengan masyarakat pemilih. Kegagalan yang mengakibatkan mahalnya biaya komunikasi lewat media.
Jokowi sebagai trend setter blusukan dan bertemu langsung dengan pemilih, tidak mampu dcopy paste oleh kandidat. Apa soal, karena banyak hal yang mesti dikorban dan disembunyikan dibalik bagusnya foto dibaliho. Tidak ada ekspresi tawa, sedih dan termenung seorang kandidat bertemu dengan pemegang suara yaitu masyarakat.
Disisi lain kenapa kandidat memajang banyak baliho dan juga spanduk muncul dari prestasi yang tidak layak ditulis oleh media dan juga diperbincangkan oleh masyarakat. Kandidat belum menjadi gosip ibu-ibu ketika berkumpul membeli sayur. Dan juga tidak menjadi pembicaraan di media maya. Semua berpulang dari komunikasi satu arah tanpa ada sesuatu yang layak untuk diperbincangkan.
Maka menyampah dengan baliho dan spanduk adalah pilihan yang ditempuh untuk dapat dicoblos di bilik suara. Edan, bagaimana bisa memimpin bila dari awal telah gagal berkomunikasi dan mengabaikan hal-hal yang merusak lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H