Mohon tunggu...
Muhammad Yunus
Muhammad Yunus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Penggiat Ekonomi Syariah terapan, dan Pertanian Organik Terpadu berbasis Bioteknologi. Sehat Manusia, Sehat Pangan, Sehat Binatang, Sehat Tanah, Air dan Udara.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bila Mahasiswa Berhadapan dengan Skripsi

6 Juli 2012   04:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:15 1963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tugas akhir perkuliahan bagi seorang mahasiswa adalah membuat sebuah penelitian ilmiah bernama skripsi. Penelitian menyangkut tentang sebuah fenomena, isu, kejadian yang kemudian dilakukan penelitian, baik perbandingan, penelusuran, pengkajian. Skripsi sering mennjadi momok dan sekaligus beban berat. Tidak sedikit yang menggunakan jasa pihak ketiga untuk menyelesaikan tugas skripsi. Mulai dari full outsourching dari Bab pertama sampai Bab penutup, ada yang hanya mengolah data dan masih ada mahasiswa yang mampu untuk menyelesaikan skripsi sendiri.

Mencermati penyelesaian skripsi dapat ditelisik dari tiga cara pandang. Pertama cara pandang mahasiswa dan segala tabiat kebiasaan. Kedua cara pandang dosen, pembimbing dan segala model pembelajaran. Ketiga cara pandang pihak manajemen kampus dengan segala kebijakan dan visi kelembagaan.

Mengupas dari sisi mahasiswa dan segala kebiasaan amat sangat menarik. Bincang-bincang dengan beberapa anggota Surau Intelektual amat menggelitik mengupas bagaimana mahasiswa berhadapan langsung dengan skripsi. Budaya plagiatisme, copy paste masih ada dalam pembuatan tugas ilmiah akhir seorang mahasiswa. Pola ini diambil dari skripsi yang tersedia di internet, maupun data dari jasa pembuatan skripsi. Sedangkan bebrapa kampus memberikan bentuk abstrak dari penelitian mahasiswa. Sebelum internet menjadi massif copy paste skripsi masih terbatas dalam satu wilayah kota.

Kenapa hal ini bisa terjadi dan berlarut-larut? Mengupas hal ini harus seakan melihat secara kasat mata tentang perilaku mahasiswa maupun dosen pembimbing plus jasa pembuatan dan konsultasi. Ada beberapa faktor utama kenapa tugas ilmiah skripsi menjadi momok mahasiswa:


  1. Kebiasaan miskin membaca buku, referensi mata kuliah. Hal ini bisa dilihat dari kebiasaan perkuliahan dan aktivitas mahasiswa dalam kampus. Pemandangan yang amat langka untuk melihat mahasiswa membaca buku, atau jurnal, sedangkan secara online masih berkisah dalam dunia media sosial seperti facebook, twitter, netlog. Dari beberapa kampus yang mengelola wifi untuk situs media sosial adalah yang paling banyak di singgahi. Dari trasidi pengajaran mahasiswa merasa cukup dengan slide penajaran dosen.
  2. Kebiasaan minim membuat makalah. Menulis adalah keahlian kelas 3 SD begitu pernyataan Andreas Harefa dalam salah satu bukunya. Tradisi menulis dalam perkuliahan terasa amat minim, tugas-tugas perkuliahan pembuatan makalah sepi. Ketika tugas makalah maka sering terjadi kembali adalah mengandalkan copy paste dari internet. Bebepa dosen mensiasati dengan membuat tugas makalah dengan tulisan tangan, dan ada juga bebrapa dosen yang mengajak mahasiswa untuk menulis tugas di rumah sehat kompasiana.
  3. Kebiasaan malas diskusi dalam perkuliahan. Tradisi dikusi dalam perkualiahan bergantung kepada model mata kuliah, style dan kesukaan dosen. Diskusi ilmiah dari hasil kajian mahasiswa yang dipaparkan didepan kelas menjadi momok tersendiri bagi beberapa mahasiswa. Namun bagi mahasiswa yang aktiv dalam dunia organisasi ini adalah kesukaan berdebat dengan berbgai wacana dan isu, maklum diantra mereka senang membaca.
  4. Ketegasan dan keteladanan dari dosen sebagai pengampu mata kuliah. Tidak bisa menafikan strategisnya dosen untuk menggiring mahasiswa untuk memiliki kemampuan bagus, sikap yang baik sebagai insan terpelajar. Seperti pepatah mengatakan ketika dosen (guru) kencing berdiri, maka mahasiswa (murid) kencing sambil berlari. Terkadang perilaku dosen yang teramat jarang membaca, diskusi atau menciptakan forum ilmiah dan juga menulis adalah pembenaran secara gamblang bagi mahasiswa. Bincang bincang dengan beberapa mahasiswa, terdapat beberapa dosen yang malas membaca dan tidak mengupgrate kemampuan. Selorohnya adalah "Ya lebih baik belajar ke google aja".


Haruskah membiarkan hal ini terus berlanjut? Apa yang menjadi kebijakan Dikti untuk mempublikasikan hasil penelitian mahasiswa S1, S2 dan S3 secara online akan menyelesaikan keruhnya dunia pendidikan tinggi. Jawabannya ada pada pemangku kebijakan strategis di wilayah kampus yakni manajemen kampus: rektor, dekan, ketua jurusan, ketua prodi dan juga para dosen yang terus menjadi teladan baik dalam kebaikan apalagi dalam keburukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun