Menjadi sunnatullah dalam penciptaan alam, manusia terdapat perbedaan. Baik dari segi bentuk, fungsi dan kegunaan. Manusia di ciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Perbedaan demi perbedaan menjadi sebuah fenomena yang mampu memberikan spektrum berfikir holistik sinergis. Begitulah hikmah pembelajaran dari setiap perbedaan.
Menyikapi perbedaan dan juga perubahan gejala sosial masyarakat, meliputi pergolakan politik nasional, organisasi dan juga berbagai pegiring kejadian, seakan mentasbihkan satu hal yakni siapapun menjadi arang dan abu. Terminologi ini seakan penuh sesak dalam setiap pemberitaan dan cerita di seputar kejadian.
Dalam beberapa pembahasan akademik dan literatur persoalan menang menjadi arang dan kalah menjadi abu dikupas dalam bentuk manajemen konflik. Pembahasan ini masuk dalam ranah kajian sosiologi yang menfocuskan pada rekayasa sosial. Sedangkan dalam disiplin ilmu manajemen pembahasan ini bagian dari melihat perilaku organisasi.
Stephen Robins membahas masalah manajemen konflik dalam satu bab khusus. Sedangkan dalam buku 7 habbits juga mengupas tentang bagaimana sebuah konflik menghasilkan banyak kemungkinan. Konflik dengan dunia luar diri dapat membantu sebuah dinamika kreatif pada sisi positif dan juga lebih banyak pada sisi negatif.
Namun yang menjadi hal mendasar adalah ketika konflik itu berada dalam diri dan menjalar dalam bentuk tindakan, ungkapan dan perilaku. Beberapa istilah mentasbihkan ini dengan problem maker (pembuat masalah). Konflik yang tidak terkelola dan menggunakan cara pandang menang-menang maka akan menghasilkan tambahan persoalan demi persoalan.
Persoalan masyarakat shape, mesuji dan tragedi berdarah lainnya adalah realitas pendektan manajemen konflik yang menjadikan pihak pemenang menjadi arang dan kalah menjadi abu. Benturan kebutuhan masyarakat dengan kebijakan pemerintah menjadi titik api yang membakar siapapun. Berbagai problem konflik juga sering memperkeruh keadaan. Pada dasarnya konflik itu adalah fitrah perbedaan. Namun di tangan orang yang salah menjadi tragedi kemanusiaan.
Konflik yang memiliki sisi positif, biasanya di kelola secara baik melahirkan kompetisi saling mengisi dan menghasilkan kinerja baik. Dalam tataran perusahaan maka ia menjadi sebuah bentuk budaya ujuk prestasi dan kinerja. Namun, sering konflik menjadi akar permasalahan penurunan kinerja dan kemampuan perusahaan untuk berada dalam jalur yang benar.
Dalam ranah sosial, konflik lebih sering menjadi penguras energi masyarakat untuk berdaya cipta positif. Tawuran demi tawuran seakan tidak berhenti, baik antara sesama warga, organisasi, sampai kepada tingkatan tawuran sesama pelajar.
Beberapa faktor pemicu konflik:
Pertama, kepentingan ego pribadi. Kecendrungan ini lahir dari pribadi yang belum dewasa. Tradisi konflik digunakan untuk memuaskan ego pribadi. Ia bersemayam indah dalam setiap diri yang selalu melihat sisi perbedaan sebagai kekuatan untuk menciptakan konflik.
Kedua, kepentingan politik. Hal ini Belanda adalah ahli dalam menciptakan konflik berkepanjangan untuk menggeruk kekayaan Indonesia lewat kolonialisasi.
Ketiga, kepentingan ekonomi. Konflik iraq dan iran saat ini adalah bagian dari sebuah skenario untuk menciptakan keuntungan ekonomi dengan mengedepankan konflik antar negara.
Ketiga, kepentingan ideologi. Hal ini bersinergi dengan ketiga kepentingan diatas.
Apakah kita tetap menang menjadi arang dan kalah menjadi abu? sepanjang masih melihat sebuah titik hitam di kertas putih kehidupan saudara kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H