Mohon tunggu...
Muhammad Yunus
Muhammad Yunus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Penggiat Ekonomi Syariah terapan, dan Pertanian Organik Terpadu berbasis Bioteknologi. Sehat Manusia, Sehat Pangan, Sehat Binatang, Sehat Tanah, Air dan Udara.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Rupiah Apakah Tuan Ekonomi Indonesia?

27 Januari 2015   06:25 Diperbarui: 6 Desember 2019   17:09 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Seloroh seorang teman saat berbincang-bincang tentang rupiah yang digunakan dalam transaksi keseharian. Yang kita makan gorengan dari pedagang gorengan pinggir jalan. Harganya sekarang sudah sampai Rp 1.000,-/buah. 

Sepuluh tahun yang lalu ketika kita masih menjadi mahasiswa di Kota Padang harga gorengan masih Rp 500,-/buah. Punya uang Rp 5.000,- dapat sepuluh untuk menemani diskusi malam dengan secangkir kopi. Saat ini sambil diskusi tentang nasib ekonomi masyarakat kita beli gorengan dengan jumlah uang yang sama hanya mendapatkan 5 buah gorengan. Bisa mendapatkan gorengan dengan jumlah yang sama, namun dengan ukuran yang setengah atau lebih kecil. Itu pun mesti membeli gorengan dengan minyak yang telah digunakan berulang kali. Atau barangkali membeli minyak curah dengan kiloan. 

Ini baru pada tataran mikro kita berbicara rupiah dan kemampuan dalam daya tukar. Belum lagi persoalan beli bahan-bahan pembangunan infrastruktur pembangunan wah pemerintah. Belanja pakai rupiah? Jelas tidak, sebab belanja mesti pakai dollar amerika. Apa sebab? Dengan menggunakan rupiah saat ini yang nilainya hanya 1/12.600 menjadikan uang kita banyak. 

Dalam hitungan sederhana bila belanja modal 100.000 dollar Amerika kita mesti mempersiapkan rupiah Rp 1.260.000.000,-. Jika belanjanya 1 juta dollar, maka uang yang mesti disediakan dalam bentuk kertas senilai Rp 12.600.000.000.000,- atau 12,6 triliun dalam rupiah. Barangkali ente ingat kata sahabat saya, hancurnya ekonomi Indonesia di mana rupiah terjun bebas dari nilai tukar Rp 2.500,-/1 Dollar menjadi 15.000/dollar. 

Apa yang tejadi. Pengusaha yang berhutang dengan Dollar mengalami kebangkrutan. Perbankan juga mesti direkap dengan BLBI yang sampai saat ini pun bunga hutangnya masih membebani APBN yang tidak seberapa. Hasilnya adalah reformasi dan juga turunnya Presiden Soeharto. Harga barang melonjak tinggi terutama dari pengusaha yang berhutang dollar, pemerintah yang berhutang untuk pembangunan menggunakan dollar.

Sekarang pun rupiah tidak memiliki kekuatan penuh untuk mengkover bila kembali rupiah diterjunbebaskan dalam pertukaran mata uang. Akhir tahun 2014 di mana pengusaha dan juga pemerintah mesti membayar pokok hutang beserta bunganya dalam dollar rupiah yang stabil pada nilai tukar Rp 12.200 turun secara drastis menjadi Rp. 12.400 dan bahkan lebih. 

Apa yang terjadi? Menteri Keuangan mesti mencari sumber pendapatan baru donk? Beban pajak dan sumber pajak baru harus diterapkan. Maka satu per satu barang jualan pengusaha ditelisik dan dikenakan pajak pertambahan nilai. Bila sekarang pajak PPN 10% dari 1 juta barang. Maka mesti ditambah menjadi 1,5 barang untuk mendapatkan ruang fiskal lebih besar. 

Gunanya sebagian untuk belanja dan sebagian besar untuk mengurangi atau menutupi nilai rupiah yang terus lemah terhadap dollar guna bisa bayar hutang dan bunga dalam satuan rupiah. Terus, kenaikan BBM dan efek sampingnya gimana? Persoalan ini adalah model mendapatkan ruang fiskal yang besar. Dengan menaikkan BBM sementara waktu dan kemudian menurunkannya kembali sesuai dengan harga pasar dunia menjadikan pemerintah mendapatkan uang rupiah besar. 

Jumlahnya sampai di atas 250 triliun rupiah. Bila nanti minyak dunia naik lagi dan tidak membebani biaya bayar utang dan bunga dalam dollar ya mesti harga BBM dinaikkan. Apa sebab? Beli BBM dan pengolahannya mesti dan wajib menggunakan dollar Amerika. Menggunakan rupiah ngak diterima dalam transaksi internasional. 

Efeknya adalah bila nanti rupiah kembali diturunkan dalam nilai transaksi dan pemerintah buka hutang baru bernama skema investasi pertambangan, pembangunan maka semua harga pada berpacu naik. Bila hari ini masih bergaji Rp 3 juta rupiah, maka nilai tukar dengan komoditi yang dapat dibeli mesti dikurangi. 

Karena nilai rupiah melemah terhadap komoditi, termasuk semua komoditi impor. Berarti nanti harga gorengan abang yang kita beli hari ini bisa berharga Rp 1.500,- donk per buah. Mestinya begitu. Sebab minyak goreng yang dibeli abang adalah hasil dari perkebunan sawit yang berhutang dengan dollar beserta bunganya. 

Dijual ke Konsumen Indonesia dengan harga rupiah yang nanti dikonvesikan menjadi dollar untuk membayar hutang dan bunganya. Begitu juga dengan berbagai jenis komoditi yang semuanya diperjualbelikan secara besar dengan standar dollar Amerika. Terus efeknya dengan masyarakat kita yang kerja di luar negeri bagaimana? Semakin banyak yang kerja keluar negeri. 

Menggunakan standar gaji dollar, nanti ditransfer ke Indonesia dan jadilah gajinya besar dan lebih besar dari gaji yang menggunakan rupiah di dalam negeri. Maka kita melihat perpisahan sementara waktu anak dengan ibunya. Bapak dengan anaknya dan juga semakin banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih bekerja secara informal atau formal walau sebagai asisten rumah tangga di luar negeri. 

Masih seputar dollar dan rupiah ne. Ngomong-ngomong sudah berapa dollar yang ente simpan sebagai cadangan untuk kaya bila nanti rupiah terjun sampai nilai tukarnya Rp 18.000,-per 1 dollar? Uppsss itu rahasia bung. 

Hitung-hitung mengamankan kekayaan dari hasil pencarian selama ini. Bila menyimpan dalam rupiah dengan sistem mengambang dan ditentukan pasar. Maka rupiah jarang menjadi kekuatan menyimpan kekayaan. Malah akan terus digerus oleh inflasi dari tahun ke tahun. 

Barangkali besok pemerintah menerbitkan uang Rp 250.000,- untuk dapat mengakomodasi rupiah yang semakin gemuk dan dollar yang tetap langsing. Bisa aja ente. 

Ini kan persoalan rupiah kita memiliki bunga yang tinggi indikator mudah dibaca kok. Lihat aja berapa Sertifikat Bank Indonesia dan juga bunga kredit konsumtif dan investasi dari 5 perbankan nasional. Karena Bank Sentral Amerika saja berani menolkan Sertifikat Bank sentralnya. 

Gunanya adalah pemerintah tidak terbebani membayar bunga yang disimpan oleh perbankan amerika. Dan dana mereka lebih baik diinvestasikan di sistem keuangan di negara-negara yang memberikan bunga menarik. 

Maka jangan senang bila ada aliran dana masuk ke sistem keuangan Indonesia terutama di perbankan dan saham. Sebab motifnya adalah akumulasi bunga dan melakukan pendapatan dari permainan selisih kurs rupiah dengan dollar. Bila untungnya menipis, maka dana itu akan dipindahkan ke sistem keuangan negara lain. 

Hal ini yang menjadikan rupiah Indonesia diyoyo dari presiden ke presiden di Indonesia. Maka untuk menurunkan presiden sekarang. Cukup mudah saja. Bikin rupiah Indonesia seperti tahun 1998 dan kemudian perbankan menaikkan suku bunga kredit deposito dan tabungan dan kredit investasi lebih rendah. Maka akan banyak perbankan Indonesia kollaps karena tidak mampu membayar kewajiban bunga hutang dan bunga dari tabungan. 

Pilihan pahitnya adalah menjual perbankan atau mencari hutang dollar untuk menyelamatkan sistem keuangan. Berarti bila hal itu terjadi, yang untung yang mempunyai deposito dan tabungan dollar donk. Dan yang menggunakan rupiah sebagai nilai simpan rugi besar dengan depresiasi nilai tukar dengan barang dan jasa yang dibutuhkan. 

Ya begitulah perekonomian liberal yang memisahkan antara sektor moneter dengan fiskal. Yang tetap untung adalah yang meminjamkan uang berbentuk dollar baik bagi pengusaha, pemerintah dengan jaminan asset kekayaan pemerintah dan swasta untuk membayar pokok hutang dan bunga yang berdurasi 30 tahun. 

Maka kita akan menikmati kembali masa pahit, kecuali segelintir orang yang mengerti dengan permainan mata uang, bunga dan juga arus keuangan makro lintas negara. 

Terus solusinya bagaimana untuk menjadikan rupiah menjadi perkasa seperti dahulu. Tinggal menunggu keberanian pemerintah Indonesia menetapkan nilai tukar seperti Tiongkok, Jepang, Inggris dan negara maju lainnya. 

Juga keberanian pemerintah untuk tidak membebani rupiah dengan suku bunga yang di atas 2% pada Sertifikat Bank Indonesia. Itu pun butuh keberanian besar dan nyali sangat kuat. Karena semua hutang kita dihitung berdasarkan dollar dan bukan rupiah yang kita gunakan sehari-hari. 

Barangkali hanya ngimpi bro! Kecuali....ups jadi rahasia saja. 

Sebab bila Indonesia kuat dengan rupiahnya banyak yang sirik dan nelangsa. Karena kekayaan mereka akan tergerus habis bila ditukarkan dengan rupiah termasuk deposito dan tabunganmu dalam dollar Amerika, Mau?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun