Hal itu menandakan keberadaan musik di alam religius, alam atas yang identik dengan alam Kadewaan.
Gambaran musikal pun dapat ditemukan di lorong Lalitavistara. Sebuah panel relief yang menceritakan kehidupan Buddha sedari lahir hingga masa kecerahan dan pengajarannya atau lebih ringkasnya dapat disebut banjaran (dalam istilah genre sastra wayang). Setidaknya di panel 1 digambarkan Bodhisattwa di kelilingi oleh dayang-dayang istana surga Tusita. Dalam pahatan ini Gandharva memainkan musiknya sebagai wujud suka-cita menunggu masa lahirnya sang pemberi kesejahteraan Dewa dan Manusia.
Masih dalam lorong Jataka, panel cerita Visvantara yakni ketika Bodhisattwa terlahir sebagai putra Sanjaya, raja kaum Sibi, unsur musikal digunakan sebagai daya tarik untuk menyampaikan pengumuman (panel 42).
Ketika Bodhisattwa terlahir sebagai Sakra, relief yang menggambarkan pemain musik di dalam aula orkestra (panel 46) nampak dalam rangkaian ceritanya.
Pada panel 318 terlihat gambaran bangsawan perempuan yang menyaksikan para pemain musik di hadapannya.
Dinding luar lantai 1 deret bawah pada panel 43, panel 51 dan panel 89 pun sama memperlihatkan para pemain musik yang sedang menghibur penonton.
Bahkan di panel 66 musik menjadi ubarampe saat melakukan persembahan (per-sembahyang-an) di depan stupa.
Di relief terbawah, paling tersohor dan terkenal vulgar yakni lorong Karmavibhangga sebagai salah satu ajaran sebab-akibat dari sebuah perbuatan. Terdapat panel 39 yang menampilkan para pemusik. Para pemusik itu diceritakan terpaksa menjadi pemusik jalanan karena faktor ekonomi. Dalam gambar terlihat para pemusik sedang diremehkan oleh sosok kaya ketika sedang mencari derma. Sosok kaya tersebut menampik permohonan derma dari para pemusik.
Berkebalikan dengan fungsi positif dan spiritual musik dalam relief candi Borobudur, lorong Lalitavistara panel 95 menunjukkan gambaran Mara yang menggoda Bodhisattwa. Musik tergambar sebagai salah instrumen penggoda Bodisattwa agar terayu pesona kenikmatan indrawi.Â