Terkadang saya berpikir, mungkinkah pasar tradisional tetap ada dan mendapatkan tempat dimasyarakat? Dapatkah pedagang-pedagang kecil itu bertahan?
Permasalah ini memang menjadi suatu probelamtika sosial-ekonomi masyarakat modern yang cenderung mendampakan suatu yang bersifat wah! tapi malah menjadi wagu"tidak cocok" untuk dirinya dan akar budayanya.
Tuntutan zaman memang menjadi suatu alasan beralihnya konsumen pasar tradisional ke pasar modern yang disebabkan adanya stigma masyarakat yang menganggap barang dagangan yang ada di pasar tradisioanal memiliki kualitas rendah, namun keyataannya di pasar tradisional pun barang yang dijual tak kalah dengan barang yang ada di pasar modern.
Pasar tradisional juga sering kali dikaitkan dengan tempat orang-orang ndesodan ketinggalan zaman, apalagi penataan pasar tradisional yang cenderung kumuh dan kurang rapi membuat para konsumen yang ingin berbelanja enggan masuk dan menjelajahinya. Masalah penataan memang menjadi salah satu hal pokok dalam menumbuhkan semangat para konsumen serta daya tarik diluar barang dagangan yang dijajakan.
Memang, hakikatnya pasar tradisional dekat dengan kehidupan masyarakat menengah ke bawah yang sebagian besar hidup di pinggiran kota.
Terikat erat dengan rasa kebersamaan, tenggang rasa, saling asah, asih dan asuh sebagai nilai budaya yang hingga kini masih dipegang teguh masyarakat jawa. Seperti pendapat Budhi santoso (2012:13) bahwa ada tiga nilai dominan yang mencadi acuan hidup orang Jawa. Yaitu: 1) Kolektivisme (kebersamaan), 2) spiritualisme (kerohanian), 3) rasa kemanusiaan (tenggang rasa), ketiga nilai ini yang menyatu dan menimbulkan rasa sosial yang tinggi dalam masyarakat jawa. Ketiga hal diatas menjadi pegangan masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Saya pun teringat peribahasa Jawa "tuna satak bathi sanak" dengan adanya pasar tradisional, mungkin pembaca sudah tidak asing lagi akan pribahasa Jawa yang jika diartikan "tidak apa-apa merugi sedikit asalkan mendapatkan saudara". Pribahasa Jawa tersebut menjadi salah satu penyemangat para pedagang di pasar-pasar tradisional Jawa hingga sekarang ini.
Pedoman ini mereka gunakan atas prinsip kosmologi bahwa Sang Hyang Wenang adalah yang menggerakkan mereka. Dan untung rugi dalam berdagang urusannya Pencipta. Tetapi, inti yang terus harus dicari adalah paseduluran (persaudaraan) agar prinsip keseimbangan (timbal balik) tetap terjaga.Â
Sebagai salah satu tempat kumpulnya masyarakat, pasar tradisional mengekang adanya sistem dominasi. Disini kehebatan pasat tradisional yang tak terlalu terikat dengan yang namanya dominasi harga oleh pihak ketiga. Pasti harga yang ada dipasar memiliki harga yang wajar tanpa terikat pajak yang begitu tinggi.
Produsen pun termanusiakan dengan baik karena barang yang disalurkan tak lagi termonopoli juragan pemborong yang membeli barangnya dengan murah. Sistem ini dibangun atas dasar kepercayaan antara produsen dan pedagang dengan cara yang begitu memanusiakan. Akibatnya pembeli mendapat barang yang harganya terjangkau dan semua kehendaknya. Perekonomian masyarakat pun akan semakin meningkat dan masyarakat akan semakin sejahtera.
Disinilah keunggulan pasar tradisional yang harus tetap kita jaga dan lestarikan. Rasa percaya dan saling menguntungkan harus tetap terpatri dalam kehidupan berekonomi. Tentu dengan tetap memperhatikan prinsip jual-beli "tuna satak, bathi sanak"menjadi salah satu alternatif untuk menyelesaikan monopili ekonomi yang ada di masyarakat. Dengan adanya MEA pemerintah pun berkewajiban memperhatikan pasar tradisional agar prinsip-prinsip yang ada didalamnya tidak hilang. Masyarakat pun tak semakin tuna dengan budaya serta sosialnya karena banyak pembelajaran dari hadirnya pasar tradisional
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H