Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rapat Darurat Penentuan Sebuah Nama

28 Februari 2017   15:33 Diperbarui: 28 Februari 2017   15:45 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Community Learning Center Pasir Putih Indonesia| Dok pri

Suatu hari di sebuah sekolah yang tak terlampau bagus, tak terlampau nyaman, tak terlampau besar dan tak banyak siswa.

“Hari ini kita meeting sebentar, Bapak dan Ibu Guru !” ucap Ibu Bibi.

“Iya Ibu!” Semua Guru menjawab.

Suasana pagi ini agak berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya riuh dengan persiapan menjelang Ujian Sekolah bagi kelas 6 dan 9.guru-guru pun sibuk mendata dan mendaftarkan siswa-siswinya ke sekolah induk yang berada di Kota Kinabalu. Jarak sekolah dengan CLC (sebutan sekolah-sekolah yang tersebar di Sabah) sampai puluhan Kilo Meter. Tidak cukup itu disamping jauh lokasi pun berada di dalam lading-ladang sawit yang luasnya berhektar-hektar.

“Hari ini saya sudah dihubungi untuk segera mengirin nama-nama pesert ujian kelulusan siswa SD dan SMP yang kita ampu. Gimana bu Nivo apakah data sudah siap “. Tanya Ibu Bibi.

“Ini bu sebelumnya saya minta maaf banyak siswa yang belum menyetorkan dokumen mereka ke sekolah” sahut bu Nivo.

“Kog, bisa seperti itu? padahal sudah dua minggu kita umumkan ke mereka!” jawab Bu Bibi dengan logat timor yang begitu khas.

“Bagaimana ini Bapak dan Ibu? Kita sudah tidak ada waktu. Batas pengumpulan data tinggal 4 minggu lagi! banyak yang belum terselesailkan. Aduh mamahe!” sahut bu Bibi kembali. Sembari menunjukkan sikap kecewa.

“Begini saja Ibu, kita Tanya kemana saja dokumen yang mereka miliki. Nah! Setelah itu kita kumpul itu dokumen dan kita foto copy di Sekolah”. Jawab pak Basuki memberingan solusi.

“Iya bah! Betul itu. Nanti kita umumkanlah ke kelas-kelas mereka.” Ibu Jeny menambahkan.

Suasana menjadi tegang dan panik karena pihak Sekolah Induk yang biasa disebut SIKK (Sekolah Indonesia Kota Kinabalu) telah mendesak untuk segera mengirim data-data peserta ujian karena akan segera dikirim ke Jakarta. Hal ini menjadikan suasana pagi ini terfokus pada pengumpulan dokumen para peserta ujian yang harus disegerakan, membuat seluruh guru sibuk dengan persiapan segala kebutuhan administratif yang harus segera diselesaikan.

Tiga hari kemudian, dokumen siswa yang berhasil terkumpul belum ada separuh dari jumlah peserta ujian yang telah di data. Banyak siswa yang tidak memiliki paspor dan akta kelahiran.

“Bagaimana ini pak ? aduh Tuhan Allah sertai Hambamu ini.” Ibu Bibi sembari mengelus dada.

Memang dokumen menjadi sesuatu yang sulit mereka dapat karena banyak anak TKI yang lahir di Sabah. Boro-boro anak, orang tua mereka pun banyak yang tidak memiliki dokumen selama berada di Sabah.

“Begini Ibu, coba saya komunikasikan terlebih dahulu ke pihak Konsul dan kita minta tolonglah bagaimana jalan keluar bagi anak-anak ini. Begitu ya bu tak usah risaulah”. Sahut pak Basuki dengan logat Melayunya menyamarkan kepanikan.

“Iya Bapak. Mereka, anak-anak Indonesia yang ada disini. Kasihan mereka Bapak”. Bu Bibi sambil memelas.

Ibu Bibi merupakan Guru yang diberikan amanah menjadi Pengelola CLC. Beliau merupakan salah satu pelopor berdirinya tempat pendidikan bagi anak-anak TKI yang banyak tersebar di Sabah ini. Ibu Bibi dan rekan-rekan Guru yang lain sangat getolmendirikan tempat belajar siswa ini. Segala rintangan terus mereka terjang demi terwujudnya tempat belajar yang nyaman bagi anak-anak TKI ini. Mulai dari bertutupkan terpal sampai bertutupkan Zenk ibu Bibi dan rekan-rekan Guru yang lain terus berusaha mengembang sekolah yang mereka rintis. Tak heran ibu Bibi sangat kasihan melihat siswanya yang merupakan anak Indonesia ini mendapatkan kesulitan.

Setelah Pak Basuki menanyakan solusi tentang dokumen bagi Siswa yang belum memiliki, ternyata Pihak KJRI Kota Kinabalu pun mengadakan kegiatan untuk mensosialisasikan betapa pentingnya dokumen. Berketepatan dengan hal ini KJRI mengadakan pembuatan akta kelahiran bagi para anak TKI yang belum memiliki akta kelahiran untuk dijadikan dasar bukti bahwa mereka adalah Warga Indonesia yang merantau ke Malaysia untuk mencari sesuap nasi bagi keluarganya.

“Ibu ini sudah ada jawaban dari pihak KJRI. Katanya Dua Minggu lagi akan diadakan pendataan dan pembuatan akta bagi mereka jadi kita harus mendatangkan murid-murid sebelum mereka datang kemari dan menyiapkan blangko bagi mereka untuk diisi.” Kata Pak Basuki mendatangi meja tempat duduk Bu Bibi.

“Syukurlah bapak, Sabtu inilah kita kumpulkan para orag tua murid untuk segera kita data. Bapak siapkan surat undangan bagi mereka ya?” sahut ibu Bibi.

“Iya Ibu! Tapi sekaliyan kita panggil seluruh orang tua siswa dari SD sampai SMP agar nantinya kita tidak kesulitan lagi bu!”. Pak Basuki menjawab.

“Iyalah kumpulkan saja, bapak. Itung-itung kita juga mambantu mereka.” Sahut ibu Bibi kembali.

Saat pelajaran tengah berlangsung kejanggalan pun dimulai, ada kejanggalan di Kelas 1.

“Namamu kenapa setiap Minggu ganti nak? Nama kamu sebenarnya siapa ?” ibu Jeny bertanya.

“Munawaroh ibu.”dengan polos siswa itu menjawab.

“Kemarin nama kamu bilang Siti, Siti apa Munawaroh ?” Ibu Jeny terheran-heran.

“Munawaroh ibu”. Siswa menjawab.

Keesokan harinya ketika pelajaran Bahasa Indonesia anak itu ditanya kembali.

“Loh! nama kamu kenapa ganti lagi nak, nama kamu Siti, munawaor atau Zaenab?” ibu jenny terhera-heran.

“nama saya  Zaenab ibu.” Sambil menggit jari.

Hal ini pun ibu Jeny laporankan kepada pengelola yang saat ini baru ada di Kantor.

“Ibu Bibi, ada salah satu siswa kelas 1 Sd yang namanya terus berganti-ganti ibu. Saya jadi pening ini.” Ucap Ibu Jeny.

“Siapa Ibu, anak Itu?” Tanya Ibu Bibi.

“Minggu lalu dia punya nama Sekar, minggu depannya ganti siti. Kemarin saya Tanya berubah lagi jadi Munawaroh dan hari ini saya Tanya dia punya nama Zaenab Ibu.” Ibu Jeny sambil ketawa.

“Hahaha, kog bisa Ibu? Ya nanti hari sabtu kita rapatkan dengan orang tua Siswa itu untuk menentukan namanya.” Sambil tertawa ibu Bibi menjawab dengan guyonan.

“Bisa itu bu, seperti rapat di DPR harus ada kebijakan yang dikelurkan. Hahaha!” Ibu Jeny terpingkal pingkal.

“Honor rapat nanti kita bayar pakai apa ibu ?” Pak Basuki yang sedari tadi mendengarkan perbincangannya menambahkan guyonan.

“Ya apapun bisa, ikan asinkah, ikan terikah, ikan Tongkolkah. Atau sebotol air mineral biar tak tenggang bapak.” Ibu Bibi tertawa lebih kencang dan keras.

Ini merupakan gambaran yang sangat sering terjadi di sekolah-sekolah Indonesia yang berada di Sabah. Hal ini dikarenakan ketidak adaan dokumen. orang tua mereka pun sering menggonta-ganti nama panggilan anaknya. Sehingga anak pun menjadi bingung siapa sebenarnya nama aslinya. Ketidak berdayaan membuat mereka jarang memikirkan hal-hal yang sedetail Paspor bagi anak-anak mereka. Inilah salah satu retorika kehidupan para Anak TKI atau Buruh Migran Indonesia (BMI) yang tersebar di Sabah Malaysia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun