Salam kemanusiaan !
Semoga kehidupan manusia di dunia ini masih terselimuti rasa kemanusiaan yang hangat, serta merasa nyaman di atas lindungan Tuhan yang Maha Adil dan Maha segalaNya.
Bapak presiden yang budiman perkenalkan saya Frengki yang pada kesempatan kali ini saya diberikan anugrah Tuhan untuk memeluk adik-adikku sebagai saudara tiri yang masih memiliki satu darah dengan saya yaitu satu darah nasionalis kebagsaan Indonesia.
Awal mula saya menginjakkan kaki ditanah seberang hati ini sangat tertegun heran dengan segala yang terjadi namun tak nampak di mata bangsa Indonesia. Mungkin memang akses yang sulit atau mungkin banyak orang yang berusaha menutup mata degan keadaan saudara tiri saya ini yang memang hal sulit untuk dipecahkan. Hari-hari saya disini selalu terisi dengan semagat yang membara, badan ini serasa mendapatkan sebuah kekuatan entah berasa dari mana munculnya ketika melihat saudara tiri saya disini semangat membuka pandangan-pandanganya tentang dunia terkhusus tentang Indonesia. Saudara tiri yang saya maksud ini adalah adik-adik anak TKI yang sangat semangat dan gigih serta tekun kencari ilmu untuk bekal mereka menggapai masa depan di kemudian hari.
Bapak presiden yang Budiman, sangat teriris sekali hati ini ketika mendengarkan kisah perjalanan mereka dalam mensukseskan program wajib pendidikan di tambah dengan inisiatif plus pendidikan 7 tahun. Kalau ditotal benak mereka ada 16 tahun masa wajib berpendidikan mulai sd, smp, sma serta masa kuliah S1 yang mereka impikan. Alhamdulillah dana bos selalu cair untuk CLC yang tersebar di sekolah-sekolah luar biasa yang berdiri di Sabah, Malaysia ini. Berlebel sekolah Indonesia mereka terus belajar menjadi Indonesia untuk bergerak meninggalkan keterpurukan keluarga yang banting tulang mencari penghidupan di negeri seberang.
Bapak presden yang kami segani, dibalik usaha pemerintah yang sangat luar biasa baik untuk menyisihkan APBN untuk pendidikan adik-adik (saudara tiri) kami yang ada disini. Masih banyak hal yang belum tersentuh oleh keddetailan pemerintah dalam mengasuh saudara tiri kami. Jujur saya sangat kaget dengan apa yang terjadi banyak orang tua siswa-siswi CLC ini yang mengeluhkan tambang (uang) Bus Mini satu-satunya akses mereka menuju sekolah yang mahal. Perlu bapak ketahui bahwa mereka kebanyakan bertempat tinggal jauh dari tempat berpendidikan.
Kalau di banding dengan di Indonesia seperti jarak Surakarta sampai Ponorogo mereka tempuh setiap harinya. Hal itu pun ditambah dengan akses yang sangat sulit karena mereka berada di tengah ladang sawit yang jauh dari kota. Selain itu kendaraan itu pun khusus, bahkan tidak setiap hari ada stand by di depan rumah. Kadang kala mereka harus telat datang ke sekolah karena mereka harus menunggu Bus Mini yang lewat. Ada pula yang naik Lory (kendaraan pengangkut buah Sawit) milik perusahaan sawit tempat Orang Tua mereka bekerja. Sungguh miris hati ini bapak.
Kalau di Indonesia bapak-bapak Polisi selalu memberikan penyuluhan mengenai bagaimana tata tertib pengemudia di jalan yang harus memiliki SIM dan tidak boleh mengendarai sepeda motor jika belum cukup umur. Mereka disini sangat biasa melihat pelanggaran-pelanggaran para pengemudi Bus Mini yang harus kucing-kucingan dengan Polisi yang bertugas pengemudi yang tidak memiliki SIM. Bahkan ada pula Siswa yang memilih menggunakan Motor sendiri untuk pergi ke sekolah karena memang itu satu-satunya alat bagi mereka yang jauh dari jalan raya. Para guru pun enggan menegur karena memang begitulah keadaan pengemudi yang tidak memiliki SIM.
Bahkan ada pula Siswa yang memilih menggunakan Motor sendiri untuk pergi ke sekolah karena memang itu satu-satunya alat bagi mereka yang jauh dari jalan raya. Para guru pun enggan menegur karena memang begitulah keadaannya. “Dari pada mereka tidak pergi ke sekolah lebih baik membiarkan mereka menggunakan motor untuk ke sekolah” kata itulah yang kerap terlontarkan dari para guru yang mengabdi disana. Namun tak henti-hentinya para guru untuk mengingatkan mereka taat tata tertib yang telah dibuatdan disepakati bersama.
Insiden kucing-kucingan tersebut pun terjadi ketika Polisi Imigrasi mengadakan cheking kependudukaan. Para siswa dan orang tua siswa pun banyak yang lari ke dalam hutan menghindari Polisi agar mereka tidak tertangkap dan dipenjarakan di Rumah merah. Mereka memang salah karena tidak memiliki Paspor. Bukan mereka tidak mau mengurus, namun paspor merupakan suatu hal yang sangat mewah bagi para buruh yang bekerja di perkebunan milik pengusaha Malaysia. Sangat malah bagi para buruh untuk membiayai paspor mereka. Perlu diketahui mereka hidup di Sabah memiliki biaya hidup yang tergolong tinggi bagi touris yang berkedudukan sebagai buruh perladangan. Itu pun jika mereka mengurus paspor haru ada jaminan dari perusahaan ketika mengajukan jaminan mereka harus membayar ke perusahaan yang menjamin mereka. Kalau dipikir jaminan yang identik dengan kesejahteraan pun menjadi proyek disini.
Ayah bangsa yang kami Hormati. Hal yang demikian ini menjadikan polemik bagi mereka yang saat ini sedang terlunta-luntak menunggu keadilan dari Tuhan. Antara menyambung kehidupan atau menaati peraturan negara namun dengan resiko kehidupan mereka akan semakin sulit di negara tetangga ini. Hal sulit ini tentunya mereka pilih dengan menyambung kehidupannya terlebih dahulu dibanding dengan menjalankan aturan yang dibuat oleh para pembesar-pembesar bangsa yang mungkin mereka anggap tidak terlalu berefek yang signifikan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Tidak ada yang bisa disalahkan. Kembali lagi ini semua dalah kebijakan hidup yang mereka pilih. Saya pun mengibaratkan mereka ini sebagai militan yang berani mati mengambil resiko di medan perang.
ini semua memang belum mewakili segala kesulitan yang dihadapi oleh semua TKI yang berada di Sabah ini. Hanya sebagian kecil yang nampak oleh mata dan sangat terasa sekali ketika dihadapkan dengan anak-anak TKI apalagi dihadapkan dengan pendidikan yang diharapkan oleh Orang Tua dan yang dinginkan oleh anak. Memang betul dibangku sekolah Siswa dituntut untuk mempelajari segala pelajaran yang wajib mereka terima, namun dibalik segala kewajiban yang harus dilakoni siswa, ajang berkumpul disekolah ini mereka manfaatkan untuk bermain melepas penat dari segala kesendiriannya memikirkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Kesendiriannya merasakan rintangan rintangan yang dihadapi dan mungkin kedzaliman-kedzaliman yang selalu datang menerpa silih berganti. Suatu waktu saya pun mencoba mendekati mereka untuk menggali rasa mereka dari segala rintangan. Banyak dari mereka yang tidak terlalu memikirkan kurangnya fasilitas sekolah, sulitnya mencari buku-buku yang berstandart pendidikan Indonesia dan rasa terkucilkannya dengan pendidikan yang sangat berbeda dengan sekolah-sekolah kerajaan Malaysia yang tersebar di dekat lingkungan ini. Namun mereka hanya mengeluh “kami disini hanya menginginkan ada bantuan untuk membayar tambang Bus dan membuat dokumen agar kami tidak selalu dikejar-kejar oleh Polisi Imigrasi”sangat miris hati ini mendengar keluh-kelas mereka.
Harapan mereka sangat sederhana, mereka bisa menekan biaya hidup orang tua yang digelontorka unruk biaya tambang Bus yang sangat mahal dan dapat memiliki dokumen (Paspor) sebagai identitas mereka tinggal di Malaysia pak. Alangkah mulianya permintaan mereka. Bukan minta harta yang melimpah, bukan meminta rumah yang mewah, bukan meminta gadget atau segala bentuk teknologi yang lebih modern, namun mereka meminta ada bantuan biaya transportasi untuk pergi ke sekolah dan meminta biaya pembuatan Paspor. Kalau kita kaji kembali, dua hal ini adalah usaha mereka untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik.
Mereka berusaha menaati kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dibalik kesulitannya mereka pun berusaha mentaati segala aturan yang ada. Begitulah bapak, kondisi mereka di Sabah sangat bersemangat dalam menjalani kehidupan ini. Dibalik perjuangan mereka dimensi kenegaraannya masih begitu terjaga dalam hati saudara-saudara kita. Apakah Nasionalis mereka masih di pertanyakan ? jika masih, apa yang harus mereka lakukan untuk membuktikan rasa Nasaionalisnya pak ? apa mereka tidak sadar dengan resiko status ilegalnya ? saya rasa mereka semua sadar, namun sekali lagi mereka mempunyai pilihan sulit dengan apa yang telah terjadi.
Saya pun agak terkaget-kaget dengan kepeduliannya terhadapa Indonesia, perlu bapak tahu merka disini chanel TV yang mereka tonton sebagai pelepas penat dari kesibukannya itupun semuanya chanel Indonesia. Bahkan ketika ada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mereka selalu update dan saling membahas perkembangan Indonesia dengan para TKI yang bekerja di Sabah. Mungkin jika kita membahas kepedulian terhadap negara Indonesia lebih peduli saudara-saudara kita yang merantau disini pak.
Bapak Presiden harapan kami sekiranya bapak bisa mempedulikan nasib-nasib saudara kita yang merantau di Sabah. sekali lagi bapak, mereka hanya menginginkan dua hal pokok yaitu bantuan pembuatan Paspor dan pembayarTranspor ke sekolah dari pemerintah. Mungkin hal ini terlihat mustahil, namun saya sendiri kasihan ketika melihat Siswa CLC yang terjaring cheking harus dikurung. Mereka pasti meninggalkan sekolah sebagai bekal mereka untuk hidup dikemudian hari. Semoga bapak presiden dapat memberikan setets iba bagi mereka agar setetes iba tersebut dapat menjadi tetesan menyejuk kehidupan para pelajar yang berjuang di Sabah agar dapat membangun Indonesia lebih maju dan lebih berwibawa lagi dimata Dunia.
Sekian bapak, semoga hati pemimpin negara kami ini dapat bersambung dan membentuk ikatan antara rakyat dan pemimpin negara dan bermatamorfosa menjadi ikatan saudara yang tidak terpisahkan oleh segala rintangan “godha rencana” dari segala macam marabahaya karena sejatinya kita adalah sama sebagai manusia yang harus memanusiakan manusia.
Terima kasih. Wahai Presidenku tercinta.
Salam Kemanusiaan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H