ALAM
Sebuah catatan di tepi kaki langit
Bogor 17 Oktober 2011, 21:23 WIB
Fajar Islam S.
Alam selalu bisa menjadi melodi yang melenakan hati yang merindui ketenangan. Duduk bertopang telapak tangan diatas beton yang sompal disana sini, di sebuah tempat tinggi, bersapa dengan matahari yang sudah melihat jam tidurnya. Di atas, menoleh ke berbagai sudut kaki langit tanpa batas itu. Samar memang, karena hanya cahaya-cahaya jingga sebagai penuntun mata untuk mencari visualisasi bukti nyata keagungan-NYA.
Pohon yang tampak tidak begitu besar itu menari, dengan sesekali disayupi oleh teriakan anak kecil menarik ulur layangannya.
Duduk diam seolah mendengarkan lantunan harmonisasi nada nan merdu, sesekali menggoyang-goyangkan kaki mengikuti nada yang sebenarnya tidak ada. Entah mau mengadu apa lagi, ini indah. Indah yang menghapuskan keluh kesah. Pengobatan alternatif untuk hati yang meronta.
Berkomunikasi intim dengan matahari yang sudah mulai sipit, dalam diam. Mencari petuah-petuah yang bisa menambal gores-gores kekesalan yang meradang.
“Hidup itu bukan untuk ditangisi,” katanya.
“ walau menangis dengan ikhlas juga menjadi bagian manusiawinya manusia”.
“Hidup itu juga bukan hanya tetang logika, ada juga perasaan yang bermain di sana”, sahutnya pula ketika aku bertanya tentang hidup.