Kabar menyejukan datang dari proses persidangan kasus pembantaian masal Rawagede, Karawang, Jawa Barat yang terjadi pada agresi Belanda II tahun 1947. Gugatan yang diajukan oleh sembilan Janda yang para suami dan keluarga dekatnya tewas pada peristiwa 64 tahun silam itu dikabulkan oleh pengadilan Den Haag, dengan keputusan akhir memerintahkan pemerintah Belanda harus memberikan ganti rugi. Kabar ini tentu saja tidak hanya berarti bagi sembilan janda yang mengajukan gugatan tetapi juga bagi bangsa Indonesia dalam merajut beberapa kisah sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI yang mengalami banyak celah tak terisi. Kini, para korban tragedi Rawagede menunggu keputusan besaran kompensasi yang mereka terima sesuai dengan hukum yang berlaku di Belanda.
Kabar tentang keputusan pengadilan kasus Rawagede ini membuka asa bagi banyak kasus lain yang terjadi pada periode yang sama atau kasus pada periode yang lain tetapi dengan klasifikasi kasus yang sama. Selama ini, kasus - kasus serupa seringkali hanya dijadikan kenangan perih masa silam, tanpa tahu apakah ada langkah hukum untuk mempersoalkannya. Kasus Rawagede membuka mata banyak orang, termasuk para korban pembantaian oleh militer di masa silam untuk menempuh langkah hukum serupa guna mendapatkan keadilan meski apapun keputusannya tentu tidak merubah kisah kelabu itu sendiri.
Kini pertanyaan menghampiri bangsa ini; apakah kita sudah siap digugat terkait dengan banyak pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Indonesia baik terhadap masyarakat eks-Indonesia seperti Timor Leste maupun terhadap rakyat Indonesia sendiri? Data sejarah menunjukkan bahwa Indonesia meninggalkan banyak jejak kejahatan militer di masa lalu yang secara sadar 'enggan' dikatakan sebagai kejahatan. Sebut saja tragedi pembantaian masal di beberapa wilayah di Indonesia pasca G30S/PKI, kasus Tanjung Priok, Kasus Papua ( 1966 - sekarang ), Kasus Trisakti, dll. Bangsa Indonesia yang ter-representasi pada tindakan pemerintah, begitu takut membuka luka yang lama tertutup, meski sadar dengan begitu boroknya akan semakin parah. Bangsa Indonesia suatu saat harus menanggung keengganannya sendiri untuk mengobati luka - luka itu, yakni keruntuhannya. Hari ini, di saat bangsa - bangsa yang pernah menjajah Indonesia mulai mengambil langkah untuk memperbaiki memori kelabu masa silam, Indonesia justeru melenggang sebagai pengecut, meninggalkan borok - boroknya. Berita tentang akhir dari perjuangan korban peristiwa Rawagede bukan tidak mungkin menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia untuk bersiap menghadapi gugatan dari janda - janda lain, yang menanggung kepahitan hidup akibat kejahatan militer negara ini. Semua pilihan ada di tangan bangsa ini dan lebih khususnya di tangan pemerintah. Sebelum luka - luka yang terus terjaga itu menjadi kanker ganas yang siap memporak - porandakan NKRI, sebaiknya kita bangsa Indonesia keluar sebagai pemberani yang mau dengan jujur mengakui kejahatan masa silam dan berinisiatif melakukan daya upaya pemulihan. Ini memang menyakitkan tetapi hanya sesaat. Ann Spangler bilang; " biarkan rasa perih sesaat menyelimuti lukamu, daripada luka itu tak akan pernah sembuh bahkan membunuhmu".
Catatan pentingnya adalah; Indonesia masih menyimpan bom waktu yang mulai menunjukkan gejala akan meledak di bumi Papua! Ini terjadi karena Indonesia tidak melakukan apapun terhadap kekhilafan militer masa silam sehingga memberikan ruang bagi para pejuang kemerdekaan Papua untuk terus berjuang di kancah Internasional, demi meraih simpatik. Sedangkan Indonesia hanya sanggup mengumbar angka 28 Triliun/ tahun yang dikucurkan untuk Papua. Tentu ini lucu dan sama sekali tidak nyambung!
Berikutnya adalah keberadaan pengungsi eks Tim - Tim di Timor Tengah Utara-NTT yang tidak terurus memberikan percikan api tidak simpatik pada Pemerintah. Tentu cukup mengganggu satabilitas di Timor, meski hal ini juga 'takut' diakui.
Yang berbahaya dan bakal menjadi isu di kalangan tertentu di seluruh Indonesia adalah kembali bersatunya eks- korban pembantaian G30S/PKI. Bukan rahasia lagi, ketika Soeharto lengser, orang - orang ini bangkit dan beberapa duduk di kursi legislatif, beberapa mendirikan media, LSM, dan NGO. Ini juga tidak diakui!
Masihkah Indonesia berdiam diri sebagai pengecut dan membiarkan riak - riak itu meruntuhkan NKRI? Tindakan pemerintah yang 'enggan' bersikap jujur adalah kasus Ambon. Sejak terjadinya peristiwa prtama Januari 1999 hingga beberapa hari lalu tidak pernah ditangani sampai pada sisi "lukanya". Yang dilakukan hanyalah membersihkan nana yang tercecer dari borok, tapi lukanya tidak diobati.
Ayolah Indonesia, behenti jadi pengecut! Bersiaplah menghadapi gugatan karena kejahatan masa silam, untuk hari depan yang lebih baik. Pilihan pertama adalah mulai menjadikan kejahatan masa silam sebagai proyek investigasi, bukan untuk mencari tahu siapa yang salah, tetapi untuk menemukan luka yang sebenarnya, sebelum kita benar - benar dijuluki bangsa PENGECUT yang akhirnya HANCUR!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H