Dia memberikan panduan arah dengan kedua tangannya. Saya hanya bengong mencoba memahami sebisa mungkin. Melihat gelagat saya yang kebingungan menangkap keterangannya, dia akhirnya mengisyaratkan saya untuk mengikuti dia ke suatu arah. Kereta gerobag bawaannya sengaja ditinggalkannya. Saya membatin, baik benar nich orang.
Akhirnya dengan berkelak-kelok jalan, saya diantar ke sebuah pintu besi hijau bertuliskan “WIWAG”. Berhubung saya jelas tidak paham mengenai bahasa Jerman yang banyak digunakan di Austria. Saya berasumsi wiwag berarti prayer room atau mushola. Dia menyuruh saya masuk pintu tersebut dan meninggalkan saya. Sebelum pergi melangkah, dia menjabat tangan saya. Sayapun berkata, “ Thank you very much. Assalamu’alaikum.”
Dengan sedikit ragu saya berkata kepada mereka berdua, “I’m sory. I just looking for praying room. Where is it?”
Si Koki sedikit agak menggeleng dan menunjukkan muka tidak paham. Namun justru si ibu-ibu yang memberikan arahan, “ You just turn left in this coridor and than you will find the grey door. Open it. That is moslem praying room.”
Akhirnya benar-benar saya ikutan nasehat beliau. Saya berjalan di koridor depan ruangannya, belok kiri dan kembali menjumpai sebuah pintu besi. Kali ini berwarna abu-abu. Saya buka pintu tersebut, dan subhanallah sebuah hamparan karpet merah kembang-kembang berbaris rapi menghadap arah tertentu. Aha, inilah mushola yang dimaksudkan.
Tuhan ternyata sembunyi di balik riuh rendahnya urusan orang di area VIC ini. Tuhan sengaja menepi, menyepi dan bertapa di kesunyian ruang basement. Di bawah selang-selang besi dan paralon plastik, juga kabel-kabel yang ruwet rupanya Tuhan justru bertahta. Saya jadi teringat sebuah uraian artikel Emha Ainun Nadjib mengenai keberadaan Tuhan di gedung-gedung besar, hotel-hotel mewah, mall-mall yang di bawah selang-selang itu.
Ruang sembahyang, mushola, apalagi masjid tidak pernah menjadi hal yang primer dalam tatanan kosmologi arsitektur manusia modern. Ia sudah terkalahkan oleh kepentingan manusia yang lain. Uang, pangkat, jabatan, karir, ekonomi, bisnis, dan semua hal keduniawian. Tuhan menjadi urusan manusia yang ke nomor sekian, entah enam belas, seratus lima puluh tujuh, sembilan ribu lima ratus lima puluh, ataupun mungkin sudah sama sekali dilupakan. Ini sekaligus sebuah pertanda dan gambaran betapa manusia modern memang sudah sangat meminggirkan Tuhan. Tuhan ditempatkan di pojokan basement, tidak terlihat, tempat gelap, pengap dan sangat susah untuk dicari. Tuhan seolah sudah sedemikian dipunggungkan oleh manusia. Tuhan di belakang tumit setiap orang. Tuhan tidak lagi menjadi acuan dan pertimbangan utama dalam mengambil pola pikir, ucapan, sikap ataupun tindakan.
Namun demikian, semoga Tuhan tetap bertahta di setiap insan yang di kedalaman nuraninya masih terperciki cahaya hidayah dan kesucian-Nya.