Rasa prihatin kita terhadap kondisi para pekerja kita di Malaysia sepertinya tak ada habisnya bila menyaksikan langsung kehidupan mereka disana, khususnya para pekerja yang berada di kompleks-kompleks perkebunan sawit, negara bagian Sabah, Malaysia. Hidup mereka betul-betul susah, keras dan terisolir.
Untuk sekedar hidup saja di ladang tanpa harus bekerja, rasanya penuh perjuangan. Para pekerja sawit umumnya tinggal dan hidup persis di tengah-tengah belantara pohon sawit. Sekelilingnya, kiri-kanan, muka-belakang yang tampak hanya pohon kelapa sawit. Letaknya pun jauh dari jalan besar (highway). Apalagi dari keramaian serta hirup pikuk kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat (Malaysia). Medan yang dilalui untuk sampai ke kompleks pekerja sawit pun bukan main susahnya, bergelombang, bergunung, dan tanpa aspal. Malah, kalau hujan deras jalannya kerap kebanjiran.
Kondisinya hampir sama di setiap ladang-ladang sawit. Yang berbeda hanya fasilitas kompleks yang disediakan oleh perusahaan masing-masing. Kalau perusahaannya kaya dan tidak pelit, biasanya fasilitas yang tersedia seperti rumah, tempat mandi, rumah sekolah, tempat penitipan anak, dan klinik, juga lumayan. Itu pun untuk rumah-rumah pekerja, tidak semua rumah batu tapi rumah-rumah panggung.
Apalagi yang perusahaannya tidak terlalu besar dan peduli, kondisi rumahnya bukan main, tidak layak huni. Dinding kayu rumahnya, misalnya, biasa sudah berlobang-lobang. Kayunya tidak tercat, hitam pekat. Atap rumahnya karatan, sementara air hujan yang diminum, dimasak dan dimandi sehari-hari ditampung dari atap tersebut. Pintu rumahnya seadanya. Ukuran rumahnya pun tak seberapa, hanya ada dua kamar tidur yang berukuran kira-kira 3x3 meter. Pokoknya memiriskan kondisinya.
Belum lagi, akses untuk keluar dari kompleks sungguh sangat susah. Sekali berada di perkampungan ladang, amat susah bepergian. Beruntung, di setiap ladang, biasa ada "tokenya", pak haji' - pemilik kedai runcit (warung) - yang memiliki kereta (mobil) untuk keluar ke Bandar (kota) atau ke daerah tertentu. Kereta pak haji itulah yang bisa ditumpangi bila para pekerja berkepentingan untuk keluar. Namun, jika tidak, harus menumpang di truk lori (tronton) yang seringkali harus naik turun, ganti lori karena jalur yang dlintasi tidak serta-merta menuju ke highway.
Kenyataannya, para pekerja betul-betul betah hanya menetap di kompleks ladang untuk bekerja. Soal kebutuhan pokok hari-hari, para ibu rumah tangga memang tidak kemana-kemana tetapi cukup membelinya di kedai-kedai pak haji atau kompeni yang ada di ladang tersebut. Sebab, untuk keluar ke Bandar, urusannya panjang dan bahkan berisiko. Para pekerja atau ibu rumah tangga yang hendak ke Bandar mesti meminta borang cuti (formulir) ke kompeni yang bisa menjamin keselamatan mereka dari tangkapan polisi. Jika tidak, mereka bisa ditangkap oleh pihak petugas keamanan diraja Malaysia.
Hal itu dimaklumi karena hampir semua para pekerja yang berada di ladang-ladang tidak memiliki visa alias tenaga kerja illegal. Hanya saja, keberadaan mereka diberikan jaminan oleh perusahaan ladang tempatnya bekerja. Sehingga selama berada di kompleks ladang sampai bertahun-tahun sekali pun, para pekerja aman dari sergapan polisi diraja Malaysia.
Namun, jika hendak bepergian ke Bandar atau ke daerah tertentu karena urusan penting, para pekerja harus meminta ijin cuti ke perusahaan dalam bentuk pemberian borang cuti untuk dikantongi sebagai jaminan yang dapat berfungsi seperti passport visa.
Jaminan itu juga tidak gratis. Meski tidak secara langsung dikatakan sebagai pajak (levy) jaminan, para pekerja mesti membayar uang antara 60 hingga 80 ringgit per bulan. Dalam bahasa kompeni, levy itu untuk pembayaran passport. Biasanya, gaji bulanan mereka dipotong untuk levy tersebut.Para pekerja pun rela gaji mereka dipotong setiap bulan asal mereka tetap bekerja menghasilkan uang hari-hari untuk hidup bersama istri dan anak-anak di ladang.
Demi makan, mereka memang rela bertahan untuk bekerja di ladang-ladang yang kondisinya begitu memprihatinkan. Apa hendak dikata, negara tempatnya dilahirkan tidak mampu menyediakan mereka lapangan pekerjaan. Sehingga mau tidak mau harus merantau ke negeri orang.
Utopia negara agraris
Menjamurnya para pekerja kita di Malaysia sesungguhnya tidak lepas dari pembangunan negara yang tidak jelas arahnya. Bertahun-tahun kita, sejak merdeka, disebut-sebut negara agraris, tetapi petani di perdesaan hidupnya tidak pernah lebih baik apalagi sejahtera. Menjadi petani di negeri agraris ternyata tidak mendapatkan apa-apa dari pemerintah.
Para pekerja sawit itulah rata-rata awalnya adalah petani-petani kita di kampung (perdesaan). Namun, karena menjadi petani di kampung tidak memberikan jaminan apa-apa, maka mereka memilih menjadi pekerja sawit di ladang Malaysia. Di ladang sawit, asal mereka bekerja, mereka hari-hari bisa mendapatkan uang. Di kampung halaman, pekerjaan pertanian apa yang bisa menjamin mereka seperti itu?
Penulis sangat tertarik dengan konsep pembangunan ekonomi "inti plasma" yang pernah dicetuskan oleh Prof Sri-Edi Swasono semasa orde baru. Namun, konsep itu tidak pernah secara serius digarap oleh pemerintah. Hemat penulis, konsep itu sangat bagus dan cocok untuk masyarakat kita yang ada di area perdesaan yang rata-rata bekerja sebagai petani.
Gagasan inti plasma yang dimaksud oleh Prof Edi adalah konsep pembangunan yang menginginkan adanya pendirian badan ekonomi yang berfungsi untuk memberdayakan, mengolah dan memproduksi hasil-hasil pertanian warga setempat. Awalnya, badan tersebut entah dalam bentuk perusahaan, PT, CV atau sejenisnya, dikelola orang-orang profesional, bikinan pemerintah. Badan tersebut tentu memperkerjakan petani setempat.
Lalu, setelah modal serta eksistensi badan itu kembali dan berkembang pesat, kepemilikan serta penguasaannya diserahkan secara langsung kepada masyarakat. Dari situ kemudian masyarakat bisa berproduksi dan menghasilkan uang sendiri lewat badan tersebut. Tentu dengan syarat, para warga yang bekerja di dalamnya juga dilatih dan dipersiapkan untuk mengambil alih manajemen lembaga itu nantinya.
Sayang, sampai hari ini model ekonomi kerakyatan seperti itu tidak pernah dilaksanakan. Yang ada hanya korporasi-korporasi asing yang datang ke daerah-daerah untuk menghisap kekayaan alam di sekitar. Sektor pertanian pun terabaikan, padahal mayoritas masyarakat bangsa adalah petani.
Jadinya kehadiran korporasi tambang tidak memberi nilai tambah bagi kehidupan masyarakat setempat. Yang menikmatinya hanya orang luar yang pandai dan berpendidikan. Orang-orang lokal malah kian termarjinalkan. Lihat saja, misalnya, kondisi orang-orang di Papua yang punya sumber tambang emas dan tembaga, bukannya lebih baik malah makin terpinggirkan.
Ironisnya, ketika saat-saat pemilihan umum digelar, para pemimpin kita yang kini duduk di pemerintahan seringkali mengkampanyekan gagasan ekonomi kerakyatan. Namun, wujud riil ekonomi kerakyatan tersebut tak pernah nampak dalam kehidupan hari-hari rakyat. Yang terjadi dalam struktur ekonomi bangsa adalah model ekonomi kapitalis yang terlalu memuja kehadiran investor dan pemodal daripada rakyat itu sendiri, pemilik sah tanah dan negara ini. Akibatnya, rakyat selalu jadi tumbal dari setiap gerak dan roda ekonomi bangsa.
Karena itu, eksistensi tenaga kerja kasar di Malaysia, misalnya, yang kian menumpuk, jangan selalu dipersalahkan karena keketidakmampun mereka berusaha di negaranya. Persoalan tersebut sesungguhnya lebih karena ketidakberdayaan negara yang sudah dikuasai oleh kekuatan asing untuk memuliakan rakyatnya.
Agar pekerja-pekerja kita di ladang sawit Malaysia bisa dikurangi - kalau tidak mau dibilang dipulangkan semua - pemerintah harus betul-betul menggarap model-model ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan kondisi alam dan kekayaan daerah masing-masing. Pemerintah kita, misalnya, bisa menyemarakkan pembukaan ladang-ladang sawit serupa di berbagai daerah yang cocok untuk penanaman kelapa sawit untuk pekerja-pekera kita yang terbiasa di ladang Malaysia. Selama ini,yang populer hanya di beberapa tempat seperti Mamuju, Kalimantan dan Sumatera. Itu pun belum begitu mendapat perhatian besar dari pemerintah.
Pemerintah baik pusat maupun daerah, selama ini lebih asyik mengeskploitasi sumber-sumber tambang ketimbang memberdayakan lahan-lahan perkebunan atau pertanian untuk pengembangan komoditas lokal. Padahal, pengembangan potensi lokal seperti padi, kelapa, coklat, jagung dan lain-lain jika dikelola seperti model pengembangan kelapa sawit Malaysia sebagai komoditas unggulan tiap daerah, maka yakin dan percaya akan mampu menyerap seluruh tenaga kerja kita. Lahan pertanian dan perkebunan kita luas. Tanah negara kita juga subur, bisa untuk tanaman apa saja. Asal dikelola secara profesional dan berbasis kerakyatan, kehidupan bangsa akan lebih sejahtera.
Semua itu terpulang pada political will para pemimpin kita yang duduk di pemerintahan. Kalau betul-betul ingin mengangkat derajat dan martabat rakyat, pemerintah sudah selayaknya merancang dan menggagas model-model usaha dan industri kerakyatan yang sesuai dengan potensi alam daerahnya.
Hidayat Doe
Pendidik anak-anak Indonesia di Sabah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H