Menjamurnya para pekerja kita di Malaysia sesungguhnya tidak lepas dari pembangunan negara yang tidak jelas arahnya. Bertahun-tahun kita, sejak merdeka, disebut-sebut negara agraris, tetapi petani di perdesaan hidupnya tidak pernah lebih baik apalagi sejahtera. Menjadi petani di negeri agraris ternyata tidak mendapatkan apa-apa dari pemerintah.
Para pekerja sawit itulah rata-rata awalnya adalah petani-petani kita di kampung (perdesaan). Namun, karena menjadi petani di kampung tidak memberikan jaminan apa-apa, maka mereka memilih menjadi pekerja sawit di ladang Malaysia. Di ladang sawit, asal mereka bekerja, mereka hari-hari bisa mendapatkan uang. Di kampung halaman, pekerjaan pertanian apa yang bisa menjamin mereka seperti itu?
Penulis sangat tertarik dengan konsep pembangunan ekonomi "inti plasma" yang pernah dicetuskan oleh Prof Sri-Edi Swasono semasa orde baru. Namun, konsep itu tidak pernah secara serius digarap oleh pemerintah. Hemat penulis, konsep itu sangat bagus dan cocok untuk masyarakat kita yang ada di area perdesaan yang rata-rata bekerja sebagai petani.
Gagasan inti plasma yang dimaksud oleh Prof Edi adalah konsep pembangunan yang menginginkan adanya pendirian badan ekonomi yang berfungsi untuk memberdayakan, mengolah dan memproduksi hasil-hasil pertanian warga setempat. Awalnya, badan tersebut entah dalam bentuk perusahaan, PT, CV atau sejenisnya, dikelola orang-orang profesional, bikinan pemerintah. Badan tersebut tentu memperkerjakan petani setempat.
Lalu, setelah modal serta eksistensi badan itu kembali dan berkembang pesat, kepemilikan serta penguasaannya diserahkan secara langsung kepada masyarakat. Dari situ kemudian masyarakat bisa berproduksi dan menghasilkan uang sendiri lewat badan tersebut. Tentu dengan syarat, para warga yang bekerja di dalamnya juga dilatih dan dipersiapkan untuk mengambil alih manajemen lembaga itu nantinya.
Sayang, sampai hari ini model ekonomi kerakyatan seperti itu tidak pernah dilaksanakan. Yang ada hanya korporasi-korporasi asing yang datang ke daerah-daerah untuk menghisap kekayaan alam di sekitar. Sektor pertanian pun terabaikan, padahal mayoritas masyarakat bangsa adalah petani.
Jadinya kehadiran korporasi tambang tidak memberi nilai tambah bagi kehidupan masyarakat setempat. Yang menikmatinya hanya orang luar yang pandai dan berpendidikan. Orang-orang lokal malah kian termarjinalkan. Lihat saja, misalnya, kondisi orang-orang di Papua yang punya sumber tambang emas dan tembaga, bukannya lebih baik malah makin terpinggirkan.
Ironisnya, ketika saat-saat pemilihan umum digelar, para pemimpin kita yang kini duduk di pemerintahan seringkali mengkampanyekan gagasan ekonomi kerakyatan. Namun, wujud riil ekonomi kerakyatan tersebut tak pernah nampak dalam kehidupan hari-hari rakyat. Yang terjadi dalam struktur ekonomi bangsa adalah model ekonomi kapitalis yang terlalu memuja kehadiran investor dan pemodal daripada rakyat itu sendiri, pemilik sah tanah dan negara ini. Akibatnya, rakyat selalu jadi tumbal dari setiap gerak dan roda ekonomi bangsa.
Karena itu, eksistensi tenaga kerja kasar di Malaysia, misalnya, yang kian menumpuk, jangan selalu dipersalahkan karena keketidakmampun mereka berusaha di negaranya. Persoalan tersebut sesungguhnya lebih karena ketidakberdayaan negara yang sudah dikuasai oleh kekuatan asing untuk memuliakan rakyatnya.
Agar pekerja-pekerja kita di ladang sawit Malaysia bisa dikurangi - kalau tidak mau dibilang dipulangkan semua - pemerintah harus betul-betul menggarap model-model ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan kondisi alam dan kekayaan daerah masing-masing. Pemerintah kita, misalnya, bisa menyemarakkan pembukaan ladang-ladang sawit serupa di berbagai daerah yang cocok untuk penanaman kelapa sawit untuk pekerja-pekera kita yang terbiasa di ladang Malaysia. Selama ini,yang populer hanya di beberapa tempat seperti Mamuju, Kalimantan dan Sumatera. Itu pun belum begitu mendapat perhatian besar dari pemerintah.
Pemerintah baik pusat maupun daerah, selama ini lebih asyik mengeskploitasi sumber-sumber tambang ketimbang memberdayakan lahan-lahan perkebunan atau pertanian untuk pengembangan komoditas lokal. Padahal, pengembangan potensi lokal seperti padi, kelapa, coklat, jagung dan lain-lain jika dikelola seperti model pengembangan kelapa sawit Malaysia sebagai komoditas unggulan tiap daerah, maka yakin dan percaya akan mampu menyerap seluruh tenaga kerja kita. Lahan pertanian dan perkebunan kita luas. Tanah negara kita juga subur, bisa untuk tanaman apa saja. Asal dikelola secara profesional dan berbasis kerakyatan, kehidupan bangsa akan lebih sejahtera.