Di hadapan umum, para penguasa negara ini seringkali juga mengatakan semua orang sama kedudukannya di depan hukum sebagaimana diatur dalam peraturan hukum. Dalam praktiknya, hukum selalu berlaku tidak adil, tidak sama, serta diskriminatif pada rakyat. Pencuri ayam, pelaku judi, pelaku kriminal, misalnya, dihukum sesuai aturan. Namun, elite politik atau orang bermodal yang mengorupsi uang negara atau menyuap penguasa tidak dihukum sebagaimana aturan yang ada.
Malah, mereka yang terlibat korupsi selalu dibebaskan dari jerat hukum. Kalaupun dijerat, hukumannya tidak seberapa atau seberat kejahatan yang dilakukannya. Sementara kita tahu praktik korupsi adalah kejahatan extraordinary yang dapat memiskinkan jutaan manusia Indonesia dan merugikan negara itu sendiri.
Karena itu, tesis Mochtar Lubis yang dilontarkan pada empat dekade lalu rasanya masih relevan hingga hari ini. Sifat munafik seringkali diperagakan oleh manusia Indonesia khususnya di level elite politik dan penguasa pemerintahan.
Kemunafikan beragama
Biasanya kalau menjelang bulan ramadhan seperti sekarang, nuansa keislaman orang Indonesia tampak kental. Orang rame-rame mendadak relijius serta berperilaku ustadz. Nuansa keislaman tersebut makin nampak jelas saat hari berpuasa telah tiba. Para elite politik pun biasa berubah jadi ahli pencerah di lingkungannya. Setiap malamnya pada saat shalat Tarawih mereka berdakwah, menyerukan kebaikan amal di dunia dan kejelekan kemaksiatan serta dosa yang dilakukan dalam hidup. Para elite pun biasa berubah jadi dewa penyantun yang bersedekah serta berinfak jutaan rupiah.
Namun selepas ramadhan, penampakan ustadz, ahli pencerah, serta kemurahan hatinya membantu kaum miskin dan dhuafa hilang berangsur-angsur atau sekejab hilang. Malah, kepergian bulan ramadhan adalah babak baru bagi mereka untuk memulai tindakan korup atau politik untuk mempertahankan kekuasaan dan jabatannya.Di bulan ramadhan mereka kelihatan malaikat nan suci, tetapi begitu ramadhan selesai, mulut dan tangannya penuh dengan dusta dan darah karena selalu beretorika secara manipulatif serta mencuri uang rakyat di kas negara.
Praktik manipulatif serta sikap korup para elite politik ini di panggung politik atau pemerintahan telah menjadi ironi besar dalam konteks keberagamaan. Keberagamaan para elite sepertinya tidak berbanding lurus dengan praktik politik dan perilakunya dalam bernegara dan berbangsa. Seolah-olah sikap beragama hanya ada pada bulan ramadhan atau berlangsung di dalam mesjid saja. Di luar itu sikap keberagamaan tidak nampak menjadi way of life dan kebiasaan masing- masing dalam hidup. Apalagi dalam dunia politik, sikap keberagamaan para elite politik dan penguasa hilang ditelan oleh ambisi serta keserakahannya pada kuasa dan jabatan.
Padahal, perilaku beragama adalah bagian dari hidup keseharian yang dipraktikkan pada seluruh aspek kehidupan mulai ranah sosial, politik, hukum, maupun budaya. Sehingga kehidupan beragama bukan hanya pada saat melakukan ibadah-ibadah spiritual yang bersifat simbolis, tetapi menjadi way of life and habit dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Kalau agama dimafhumi serta dijalankan demikian, percaya atau tidak kehidupan politik dan panggung pemerintahan bangsa akan berlangsung bersih, benar dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Hanya saja, inilah yang menjadi tantangan dan persoalan bagi umat Islam di Indonesia. Ajaran Islam masih dijalankan secara parsial dan simbolis hanya untuk gugur kewajiban, pamer, atau untuk kepentingan politik.
Jumat, 22 Juli 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H