Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu... -

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepemimpinan Nasional? (Catatan dari Diskusi Ekonomi Politik)

15 Juli 2011   15:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:39 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskusi dengan tema “Konstitusi dalam Pusaran Neoliberal” kemarin, Kamis (14/07) di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unhas cukup menarik perhatian. Diskusi yang digelar oleh Jurusan Ilmu Hubungan Internasioanalbekerja sama dengan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) tersebutmenghadirkan Hendri Saparini sebagai pembicara utama.

Paparan Saparini kembali menyegarkan pemikiran peserta termasuk penulis soal gagasan ekonomikonstitusi UUD 1945 atau biasa disebut ekonomi Pancasila. Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru dalam wacana ekonomi bangsa. Kaum intelektual seperti Emil Salim, Mubyarto, Sumitro Djojohadikusumo, Sri- Edi Swasono dan lain-lain kerapkali membahas pemikiran ekonomi Pancasila yang diproklamirkan oleh para founding fathers bangsa yang kemudian dikenal sebagai demokrasi ekonomi. Gagasan demokrasi ekonomi tersebut telah dijelaskan secara gamblang dalam pasal 33 UUD 1945 yang di dalamnya terdapat empat ayat.

Menurut ulasan Saparini, ekonomi nasional dibangun di atas tiga pilar, yakni koperasi, BUMN dan Swasta. Ketiga pilar inilah yang berperan penting dalam pembangunan ekonomi sesuai bunyi pasal 33 tersebut. Wacana koperasi dari dulu dianggap sangat penting sebagai sakaguru ekonomi dalam membangun roda ekonomi bangsa. Begitu pula dalam ayat 2 pasal 33 UUD 1945, negara dalam hal ini BUMN harus menguasai dan mengelola sumber daya alam yang strategis untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Swasta hanya boleh mengelola sumber daya yang sekunder, dalam arti tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Sumber daya strategis yang biasa dipahami sebagaihajat hidup rakyat adalah minyak, gas, mineral, batubara, dan air. Saparini juga menambahkan sektor keuangan, pertanian dan perikanan sebagai bagian strategis dalam perekonomian nasional.

Hanya saja, eksistensi koperasi maupun BUMNhingga hari ini terseok-seok, tidak jelas peranannya bagi kesejahteraan ekonomi rakyat. Koperasi, misalnya,hanya eksis di lingkaran pegawai dan pejabat tetapi tidak ditemukan wujudnya dalam kehidupan ekonomi masyarakat kecil. Sumber daya strategis pun dibiarkan dikuasai oleh pihak swasta atau asing. Saham BUMN banyak diprivatisasi dan selanjutnya dikuasai oleh pemodal asing.Gagasan ekonomi Pancasila pada akhirnya hanya jadi pajangan teks UU yang tidak punya kekuatan berarti bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat. Para pemimpin bangsa lebih cenderung menggunakan gagasan neoliberal dalam menjalankan roda ekonomi nasional.

Dengan demikian, masalah bangsa hari ini sesungguhnya terletak pada posisi kepemimpinan nasional yang tidak punya keberpihakan,komitmensertakeseriusan untuk menegakkan model ekonomi Pancasila tersebut. Meskipun, kuam intelektual kritis semisal Saparini, Ichsanuddin Nursy dan intelektual lain yang tergabung dalam AEPI banyak berkoar-koarsoal ekonomi Pancasila kalau pemimpinnya tidak pancasilais dalam ekonomi politik maka jangan harap ekonomi konstitusi 1945 bisa diterapkan dalam praktek ekonomi nasional.

Meskipun begitu, kehadiran Saparini dan kawan-kawan cukup pentingdalam wacana intelektual sebagai kekuatan pendobrak atas suburnya konservatisme intelektual kampus dalam memandang situasi ekonomi bangsa. Sebab, selama ini banyak kaum intelektual khususnya yang berprofesi sebagai dosen ekenomi universitas lebih cenderung berlaku sebagai aktor aparatus state ideologis yang mengukuhkan gagasan-gagasan neoliberal dalam wacana perekonomian. Sehingga paranan intelektual kampus dipertanyakan eksistensinyadalam dinamika dan perekonomian nasional yang dominan bercorak neoliberal.

Wacana kepemimpinan nasional menjadi kata kunci dalam meretas perubahan. Perubahan tidak akan terjadi signifikan bila di level pimpinan masih enggan menelorkan kebijakan-kebijakan pro-rakyat. Sebaliknya, proses pemiskinan, kemunduran, kemorosotan bangsa kian masif bila para pemimpin bangsa masih mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang bersifat neoliberal yang tidak merakyat. Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001, undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (minerba), dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing adalah contoh konkret peraturan undang-undang yang tidak berpihak pada rakyat dan bangsa tetapi berpihak pada kepentingan pemodal. UU Penanaman Modal, misalnya, membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95 persen. Aturan semacam ini jelas bertentangan dengan gagasan ekonomi konstitusi yang mewajibkan negara menguasai dan mengelolanya untuk kepentingan rakyat.

Kehadiran pemimpin memang sedang dinantikan oleh rakyat di tengah ketidakjelasan sikap dan keberpihakan para pemimpin bangsa dewasa ini. Rezim SBY-Boediono sudah tidak bisa diharap untuk melahirkan perubahan yang progresif dan transformatif bagi kepentingan rakyat dan bangsa. Rakyat harus menunggu 2014 lagi untuk memilih pemimpin baru yang bisa memberikan jawaban atas kondisi sosial ekonomi mereka. Itupun tidak jelas, apakah partai politik sebagai instrumen demokrasi akan benar-benar menyuguhkan rakyat calon pemimpin alternatif atau pilihannya tidak jauh beda dengan pemilu 2009 lalu.

Mengharap calon pemimpin alternatif melalaui politik elektrol hari ini jelas hanya utopia belaka. Sistem politik dan praktik politik pemilu belum memungkinkan lahirnya calon pemimpin yang progresif serta revolusioner. Partai politik yang menjadi pilar demokrasi masih terlalu korup, pragmatis, serta oportunis. Sehingga calon pemimpin dengan modal kapasitas, kepemimpinan transformatif, dan visi kerakyatan yang progresiftidak akan diusung oleh partai mainstream. Partai politik umumnya hanya mencalonkan orang yang bermodal besar tanpa harus punya visi kerakyatan serta tackrecord yang teruji untuk memimpin bangsa. Karena itu, sampai detik ini, penulis masih pesimis menatap masa depan bangsa dengan mengamati situasi kekinian yang kian mengecewakan serta memiriskan. Entahlah, kalau satu atau dua tahun kedepan terjadi perubahan yang dramatis pada struktur politik bangsa, prospek ke-Indonesian-an bisa sedikit menjanjikan. Semoga!

Rumah Kecil Identitas Unhas, Jumat (15/07)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun