Hingga suatu pagi yang dingin di tahun 1968, Lucian akhirnya menyerah. Di sebuah kamar yang sama di mana ia dulu menciptakan "Minggu Kelabu," ia menulis catatan terakhirnya. Tidak ada yang tahu apa yang tertulis di dalamnya, tapi satu hal yang pasti---seperti banyak orang yang mendengarkan lagunya, Lucian memilih untuk mengakhiri hidupnya. Ia terjun dari jendela apartemennya, meninggalkan dunia yang selama ini telah menghukumnya dengan kesepian yang tak terperi.
Namun, lagu itu tidak mati bersamanya. "Minggu Kelabu" tetap hidup, melayang di udara seperti hantu yang tak pernah bisa diusir. Setiap kali dimainkan, melodi itu membawa serta keheningan, membawa bayangan-bayangan kelam yang menghantui siapa saja yang mendengarnya. Orang-orang terus berbicara tentang kutukan, tentang kematian yang mengintai di balik setiap nada. Tapi mungkin, lagu itu hanyalah sebuah cermin---cermin yang memperlihatkan kesedihan yang ada di dalam diri mereka sendiri, kesedihan yang tak pernah benar-benar mereka sadari.
Dan di setiap tuts yang ditekan, di setiap nada yang dimainkan, melodi itu tetap berbisik: "Aku tahu rasa sakitmu. Aku tahu luka yang tak bisa kau sembuhkan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H