Dalam suatu seminar tentang "Dialog Inter-religius" di STFT Widya Sasana Malang (2012), saya tersentak oleh pertanyaan salah seorang mahasiswa berkaitan dengan Pancasila dan Konstitusi NKRI. Pertanyaannya sederhana:
"Bapak Pembicara, saya tahu bahwa negara kita memiliki konstitusi dan nilai-nilai Pancasila yang hebat. Tapi, bagaimana saya menjelaskan peraturan-peraturan, nilai-nilai, dan konstitusi ini pada nenek dan keluarga saya di kampung, yang nyatanya tidak tahu-menahu akan hal ini? Bahkan mungkin sila-sila Pancasila pun mereka tidak hafal!" (kebetulan sahabat ini berasal dari luar pulau dan agak di pedalaman)
Ini pertanyaan sederhana, namun menyingkap realitas di negara kita yang sangat besar ini. Saya juga berasal dari pedalaman dan mengerti situasi ini. Bagaimana menjelaskan Pancasila kepada saudara-saudara saya di kampung?
Saya pada akhirnya menemukan sedikit pencerahan pada saat kuliah Filsafat Pancasila bersama Bpk. Drs. L. Sugiharto. Sebagaimana telah disampaikan Bpk. Notonegoro: embrio Pancasila adalah budaya dan kearifan lokal yang telah dikristalisasi.
Ternyata, Pancasila adalah kearifan lokal kita sendiri. Saya tidak akan menuliskan rumusan pemikiran ini di sini. Tapi, saya hanya ingin menyentuh poin ini: akarnya adalah BUDAYA.
Karena itu, tak perlu lagi saya mengalami kesulian dalam menjelaskan Pancasila kepada nenek saya di kampung. Mereka telah menjalankannya setiap hari dalam kearifan lokal mereka. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
Let's get back to our nature! Kembali ke budaya kita (lagi)!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H