Untunglah pemerintahan Jokowi mulai berbenah, dengan nantinya menurunkan tarif pajak penghasilan final menjadi 17-20% dan memperbaiki doing business di Indonesia. Tujuannya agar korporasi Indonesia lebih tertarik berbisnis di Indonesia dan membayar pajak di Indonesia.
Jargon tax amnesty untuk para koruptor juga tidak benar. Bank Indonesia memprakirakan dari potensi dana WNI di luar negeri, hanya 70% yang dipastikan dana-dana legal dan sisanya 30% dana-dana illegal dari terorisme, prostitusi, perjudian, narkoba, hingga korupsi. Tentu saja, karena sifatnya yang llegal, dana-dana tersebut tidak akan masuk dan mau masuk ke Indonesia.
Ambil contoh, jika tersangka koruptor melarikan diri ke Singapura dan mempunyai harta Rp 200 miliar di Singapura. Â Pertanyaannya, apakah sang koruptor tersebut mau ikut tax amnesty? Tentu saja tidak, karena dalam UU Pengampunan Pajak yang diberi pengampunan pajaknya adalah pidana pajaknya saja, sedangkan pidana lainnya masih bisa diusut oleh aparat penyidik hukum.
Maka, sungguh aneh jargon yang dilontarkan antek-antek Singapura tersebut, bahwa tax amnesty untuk para koruptor, karena tidak ada hubungan antara keduanya.
Sejatinya, RUU Pengampunan pajak dipastikan menjadi titik tolak reformasi pajak dan memberi manfaat dahsyat bagi perekonomian sekaligus kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk hal ini, semestinya kita semua setuju tanpa harus mendengarkan celotehan para antek Singapura.
Jika berhasil, tax amnesty akan dapat menjadikan Indonesia tidak hanya  sebagai negara dengan perekonomian terbesar di kawasan ASEAN, tapi juga yang terpenting adalah menjadi bangsa yang mandiri. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H