Singapura mulai ‘belingsutan’ bagaikan ‘cacing kepanasan’ mendengar Presiden Jokowi akan memberlakukan tax amnesty alias pengampunan pajak. Di negara tersebut mulai terlihat tanda-tanda kepanikan. Bank-bank besar negara berpenduduk 5 juta itu kini mulai banyak melakukan propaganda negatif menolak tax amnesty.
Propaganda dilakukan di segala penjuru, mulai dari perbankannya ke para deposan hingga melalui antek-anteknya di dalam negeri. Singapura memang sangat khawatir dan panik ekonomi dan perbankannya akan kolaps jika program tax amnesty Presiden Jokowi sukses dengan gilang gemilang. Bayangkan, dana Rp 2 ribu triliun akan langsung berpindah kewarganegaraan dari Singapura ke Indonesia.
Rp 2 triliun sangatlah besar. Hampir setengah dari aset perbankan Indonesia yang kini mencapai Rp 5 triliun. Tidak heran ancaman kolaps membayangi bank-bank Singapura yang saat ini menduduki peringkat 1 hingga 3 terbesar di kawasan ASEAN. Kepada para deposan besar wealth management, bank-bank besar kampanye propanda dengan congak bahwa tax amnesty Presiden Jokowi tidak akan berhasil. Propaganda dilakukan terang-terangan maupun diam-diam. Tujuannya agar membujuk para deposan tetap menyimpan uangnya di perbankan Singapura.
Tuk gagalkan tax amnesty Presiden Jokowi, Singapura berikut antek-anteknya menggunakan jargon kampanye negatif dengan slogan tax amnesty justru jadi karpet merah pengemplang pajak. Singapura tahu kelemahan Indonesia, di mana hampir 100 juta warganya tidak pernah bayar pajak secara benar. Singapura tahu hanya 22 juta rakyat Indonesia yang punya NPWP, sehingga isu ‘karpet merah’ ini jadi bahan kampanye propaganda yang mudah dimakan oleh rakyat Indonesia.
Tujuannya tidak lain tidak bukan untuk pertahankan status quo Singapura sebagai negara tax heaven. Kondisi status quo yang puluhan tahun dinikmatin oleh 5 juta rakyat Singapura. Duit-duit tersebut ‘ngendon’ di SIngapura dan bisa digunakan pemerintahannya untuk membangun perekonomian. Duit-duit itu ‘bersemayam’ di bank-bank Singapura sehingga negeri itu kebanjiran likuiditas, tidak perlu bersaing memperebutkan dana dengan menawarkan bunga deposito tinggi-tinggi. Akibatnya, bank-bank Singapura bisa memberikan bunga kredit rendah, hanya 3-4%.
Di dalam negeri, Singapura juga menggunakan antek-anteknya seperti Sekjen Fitra Yenny Sucipto yang menolak tax amnesty Presiden Jokowi. Argumen Yenny Sucipto sama seperti yang digunakan pemerintah Singapura yang nyinyir dengan tax amnesty Jokowi, karena jadi karpet merah ‘pengemplang pajak’.
Padahal, tax amnesty ini tidak hanya ditujukan bagi wajib pajak di luar negeri saja. Sebagian besar tax amnesty ditujukan untuk wajib pajak dalam negeri!. Bayangkan saat ini rakyat Indonesia yang punya NPWP baru 22 juta orang, berarti sisanya ada 100 juta WNI yang belum membayar pajak secara benar.
100 juta rakyat Indonesia inilah yang sesungguhnya jadi sasaran tax amnesty. Banyak dari mereka, rakyat jelata, kalangan artis, pengacara, karyawan, pengusaha kecil, yang belum sadar membayar kewajiban pajaknya hingga 100%. Sebagian besar ada yang belum punya NPWP, sebagian lainnya belum mengisi SPT Tahunan secara benar. Di SPT hanya isi asal-asalan, padahal depositonya ada Rp 200 juta atau pengusaha kecil yang tidak punya NPWP padahal omzetnya ratusan hingga miliaran rupiah.
Pengusaha di dalam negeri juga banyak yang belum memenuhi kewajiban pajaknya secara benar. Jika Automatic Exchange of Information (AEoI) diberlakukan pada 2018, mereka akan terancam tarif pajak hingga 30% dan sanksi denda 46%. Ancaman penjara minimal 6 bulan dan maksimal 6 tahun mengancam setiap warga negara yang tidak mengisi SPT secara benar, berdasarkan UU KUP pasal 38. Dendanya paling sedikit dua kali dan maksimal 4 kali lipat dari jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar, karena ketika itu tidak ada lagi kerahasiaan perbankan dan no where to hide.
Jika sanksi tegas ini diberlakukan, pada 2018 nanti tidak bisa dibayangkan betapa banyak rakyat Indonesia yang akan masuk penjara. Bisa jutaan orang!! Di luar itu, banyak wajib pajak yang miskin karena terancam sanksi denda yang sedemikian besar.
Pengusaha kecil alias kelas UMKM yang tidak pernah bayar pajak secara benar juga akan masuk penjara. Pengadilan pajak akan penuh. Apalagi kita tahu sektor ekonomi informal saat ini masih dominan dan berkontribusi 70% terhadap perekonomian nasional dan mereka belum sepenuhnya berkontribusi optimal terhadap penerimaan pajak alias tidak membayar pajak secara utuh dan benar.