Mohon tunggu...
sang avicena
sang avicena Mohon Tunggu... -

Penulis dan Hobby Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencuci dan Menyetrika Baju Dalam Perspektif Mahasiswa/i

31 Mei 2014   03:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ane agak malas akhi untuk menyeterika baju. Nanti saja kalau  ane sudah punya istri  biar Istri yang menyetrika baju” perkataan seorang teman pada suatu saat.

“Ane mencuci baju seminggu sekali aja akhi, ane sibuk sekali dalam berdakwah dan kuliah, jadi hanya punya waktu hari minggu saja untuk mencuci baju” ujar seorang kawan yang lain lagi pada suatu pagi.

Beragam argumen dan jawaban tersebut mungkin laiknya kita dapatkan bila bertanya pada seorang mahasiswa-mahasiswi. Apalagi jika mahasiswa-mahasiswi tersebut tergolong aktivis dakwah kampus dan aktiv dalam social masyarakat. Bisa juga hal ini berupa fakta dan pengalaman penulis atau bahkan pengalaman teman-teman yang sedang membaca tulisan ini. Kebiasan tersebut menurut saya sangat menarik untuk diperbincangkan bahkan untuk dibuat sebuah catatan kecil. Tujuanya adalah agar kita mau belajar, ternyata sebuah urusan mencuci dan menyetrika baju adalah hal yang paling berat. Bahkan sangat berat dalam perspektif  kelompok mahasiswa berjenggot dan bercelana ngatung (baca ikhwan).

Jika ditelaah lebih dalam kondisi ikhwan  kemungkinan sama dengan kelompok kost tetangga sebelah. Kelompok kost sebelah tersebut adalah para aktivis berjilbab lebar dan gemar memakai tas gendong model rangsel (baca akhwat). Bukan menuduh, tapi mari kita coba bandingkan kedua kondisi tersebut, mungkinkah ada perbedaan. Atau mungkin dalam pemikiran saya justru, kondisinya  sama. Tulisan ini hanya sebuah gambaran kecil dan sebagai motivasi untuk  instropeksi diri. Bagi teman-teman yang hendak membuktikan di lapangan silakahan membuat riset mudahan-mudahan bermanfaat.

Saya pernah membaca sebuah cerita dalam majalah Ummi tentang kisah sepasang suami istri yang masih muda. Kebetulan suami istri tersebut ketika kuliah tergolong aktivis dakwah kampus yang jam terbangnya sangat tinggi (akvitivis militan). Diceritakan pada awal menikah mereka masih sangat sibuk, hampir sama sibuknya ketika masih menjadi mahasiswa. Hal yang tidak mereka bayangkan adalah ketika sama-sama sibuk mereka terkadang tidak mempunyai waktu untuk bersama membersihakan kontrakan. Pada awal menikah mereka memang masih menyewa rumah, mereka bilang gajinya belum cukup untuk membeli sebuah rumah. Sehingga ada hal kecil yang sangat fatal terjadi, ketika sama-sama sibuk dan pulang ke rumah larut malam. Diceritakan rumah berantakan, baju kotor terkadang dua minggu lebih tidak ada yang mencuci dan menyetrika baju. Bahkan kejadian malas-malasan ini berlangsung sampai mereka  mempunyai anak yang pertama.

Perspektif Mahasiswi

Setelah diusut oleh sang suami kenapa sang istri enggan dan terkadang terlupa dengan hal sekecil, mencuci baju. Ternyata kondisi tersebut memang menjadi kebiasaan sang istri ketika masih menjadi mahasiswa dan berstatus sebagai aktivis dakwah kampus. Karena sangat sibuk dalam kuliah dan berdakwah akhirnya malas mencuci dan menyetrika baju. Untuk mengatasi problem tersebut, maka dicarilah tukang cuci dan setrika instan yaitu LAUNDRY.  Kondisi ini dianggapnya cara yang paling tepat dan tidak mengganggu seabrek aktivitas yang dijalaninya. Bahkan jikalau ada teman akhwat yang lain bertanya jawabannya sederhana “nanti kalau sudah menikah biar suami saja yang bantu mencuci dan menyetrika baju”. Nah… lho jawaban ini sama dengan jawaban yang sering dilontarkan oleh teman ikhwan “nanti kalau sudah menikah biar istri saja yang mencuci  dan menyetrika baju”. Teori ini bila dijabarkan dan dirumuskan berarti sebuah teori yang saling mengharapkan. Meminjam teori yang yang buat oleh Eep Saefullah Fatah ketika mengutip pendapat Goenawan Mohammad (2008), disebut sebagi teori konspirasi. Goenawan Mohamad   menyebutkan bahwa teori konspirasi merupakan teori orang malas. Tetapi Eef Saefullah Fatah menyebutkan bukan hanya teori orang malas, namun juga merupakan teori pencundang. Kemudian dijelaskan bahwa seorang pencundang membiasakan telunjukknya mengarah ke luar dirinya, seolah mengaharamkan instropeksi.  Lawan dari seroang pecundang adalah seorang pemenang, yaitu orang yang ikhlas senantiasa pertama-pertama di dalam dirinya/instropeksi (Eep Saefullah Fatah dalam Dhuroruddin Mashad, 2008: xii)

Perspektif Mahasiswa

Bagiamana dengan perspektif sang suami yang malas mencuci baju, hingga kebiasaan tersebut sampai pada saat menikah. Diceritakan suami tersebut ketika masih mahasiswa memang sangat aktiv dari kuliah sampai pada tahap memegang jabatan ketua lembaga dakwah kampus. Jamak seorang aktivis kampus maka kebiasaan yang utama adalah di kampus dan terjun di jalan raya (demonstrasi). Sehingga dengan berbagai kesibukan tersebut membuat lupa terhadap urusan yang sangat kecil tapi bermakna sangat besar, yaitu urusan mencuci dan menyetrika baju. Sehingga kondisinya sama dengan tetangga kost sebelah (akhwat red). Kebiasaan kurang baiknya (jangan dibilang buruk) adalah baju menumpuk hingga seminggu lebih tidak tercuci (……….plus pengalaman penulis). Tapi kondisi ikhwan sangat berbeda dengan kondisi tetangga sebelah kost (akhwat) ketika menyelesaikan masalah tersebut. Seorang teman ikhwan mengatakan untuk menjaga agar tetap irit keuangannya atau memang tidak punya uang untuk pergi ke LAUNDRY, terpaksa dicuci sendiri. Terkadang mencuci sendiri tapi tidak lupa berdoa dalam hati “berharap mendapatkan seorang istri agar ada yang membantu mencucikan baju. Maka dia tinggal duduk santai membaca buku politik dan ekonomi. Atau bahkan santai sejenak melihat berita ketegangan politik di tanah air”.  Kondisi demografi kebiasan tersebut berulang ketika lulus kuliah-ketika hendak melangsungkan waliamtul ursy.

Kesimpulan

Nah..dari kedua kondisi tersebut bisa kita simpulkan, faktanya urusan mencuci dan menyetrika bukanlah urusan yang sangat sederhana. Bahkan menurut saya hal yang paling urgen dan menjadi bagian dakwah itu sendiri. Jangan muncul teori konspirasi atau teori orang malas bahkan teori pencundang seperti pendapat Eef Saefullah Fatah dan Goenawan Mohammad (2008). Agar nantinya ketika sudah menikah kebiasaan buruk tersebut tidak terulang kembali. Bahkan harusnya dari sekarang, untuk aktivis dakwah yang super aktiv tetap belajar bagiamana mengatur urusan rumah tangga. Sehigga nantinya menjadi kebisaan baik saling membantu antara suami istri. Sebagai pembelajaran bahkan Rosulullah pernah menjahit bajunya sendiri ketika ada yang robek, Amirul Mukminin Umar bin Khatab seorang pemimpin yang ditakuti kafir Quraisy membantu istrinya membuat adonan roti. Begitupun bagi para jilbaber (akhwat) untuk tetap belajar tata kelola rumah tangga dengan baik. Agar nantinya bisa menjadi wanita sehebat-setegar Khodijah RA dan sepandai-selembut Aisyah RA.

Dengan membangun disiplin diri yang baik, nantinya akan terbentuk sebuah keluarga yang SAMARA. Dalam artian, antara suami istri sudah memahami hak dan kewajibannya tanpa kurang sedikitpun. Yang paling penting, jika dari awal sudah membiasakan untuk berdisiplin diri, ketika sudah menikah ada sikap bijaksana yang diterapkan.

Wallahu a’lam bish shawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun