"Tadi siang, ada utusan dari Ndoro Kanjeng yang datang padaku. Ndoro Kanjeng tidak berkenan kau berhubungan dan bergaul dengan Den Ayu. Oalaaaahhhh ... thole, anak ku lanang ... Ingatlah siapa diri kita dan siapa itu Ndoro Kanjeng. Mereka itu ningrat bangsawan, sedangkan kita hanya kaum sudra. Aku tidak melarangmu bergaul dengan wanita manapun. Tapi, tolong ... jangan kau dekati Den Ayu. "
Ombak mendesah. Dadanya terasa sesak.
"Demi aku ... Demi almarhum bapak ... Tolong kau putuskan hubunganmu dengan Den Ayu. Kita berhutang budi pada Ndoro Kanjeng. Maukah kau menuruti kata-kata ku yang sudah tua ini? Maukah? Aku memohon kepada mu ..."
Ombak mendesah, berusaha menikmati bebannya
"Ndoro Kanjeng telah berbaik hati dan kita sudah berhutang budi!"
*****
Sementara itu ... di sebuah rumah nan megah ...
"Genduk ... Cah ayu ..."
"Inggih, romo."
"Romo dan ibu mu berniat menjodohkanmu dengan Denmas Wira. Dia adalah anak lelaki dari Raden Kusuma. Romo dan ibu mu sudah mengenal keluarganya sejak muda, dan menganggap keluarganya sepadan dengan keluarga kita. Leluhur mengajarkan untuk selalu berpegangan pada bobot, bibit, bebet dalam masalah perjodohan. Selain itu, Romo sudah berhutang budi pada Raden Kusuma. Beliau telah membantu Romo untuk membangun bisnis yang sekarang kita nikmati bersama dan ikut berjuang membantu Romo memenangkan pilkada sehingga Romo bisa menjadi Kepala Daerah di kota ini. Harap kau mengerti ya genduk ... cah ayu ..."
Si Genduk mendesah. Dadanya terasa sesak.