ASN: BERUBAH ATAU TERGILAS
Oleh: Sang Made Ari Jayadiputra, S.Pd
NIP. 198501272015031001
Analis Kepegawaian Ahli Muda – BKPSDM Kabupaten Buleleng
Perubahan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Selayaknya pernyataan itu menjadi renungan mendalam dan titik balik bagi siapapun untuk mampu berhadapan dengan gelombang revolusi 4.0 yang mengedepankan teknologi informasi dan digitalisasi. TBC, tidak bisa computer; Kudis, kurang disiplin; Asma, asal mengisi absen; dan Kram, kurang terampil adalah sekian banyak dari istilah penyakit aparatur yang kita dengar sehari - hari. Apakah masih bisa dimaklumi aparatur dengan sederetan penyakit itu? atau apakah kita harus menutup mata pada kenyataan ini? tentu tidak, istilah itu muncul sebagai dampak atas jauhnya harapan publik dengan pelayanan yang diterimanya. Birokrasi yang berbelit - belit, indikasi pungutan liar, waktu pelayanan yang tidak tepat waktu, informasi layanan tidak jelas, serta lemahnya perilaku melayani merupakan beberapa bentuk implikasi dari penyakit tersebut.
Masih ditemukannya dengan mudah pelayanan publik yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat telah memberikan citra buruk terhadap pemerintah. Walaupun sudah banyak dilakukan perbaikan dan inovasi, namun tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan semakin tinggi dan kritis pula. Hal ini merupakan kenyataan bahwa publik terus berkembang dengan cepat mengimbangi moderinasi dan globalisasi. Sebagai contoh, bagaimana saya dapat mengurus administrasi kependudukan tanpa mesti hadir ke dinas yang menangani? bagaimana saya sambil kerja di kantor bisa mengurus surat ijin mengemudi? bagaimana saya berobat ke rumah sakit tanpa harus mengantre? bagaimana saya kuliah tanpa harus ke kampus? Bagaimana dan bagaimana adalah sejumlah pertanyaan yang mengandung tuntutan dan sekaligus tantangan tersendiri bagi aparatur dalam penyelenggaraan birokrasi.
Disadari atau tidak, pemerintah telah berupaya keras melakukan perubahan paradigma pelayanan publik secara menyeluruh melalui reformasi birokrasi dan reformasi kultural untuk mengubah kebiasaan lama yang tidak sesuai lagi dengan kebiasaan baru. Program - program jangka pendek dan jangka panjang reformasi tersebut telah dikumandangkan sampai ke pelosok instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Tapi, apakah upaya pemerintah tersebut efektif? dan kapan itu akan terwujud? setidaknya pemerintah telah berkomitmen melakukan perubahan. Hal ini bisa kita lihat pada area perubahan yang ditawarkan, yaitu penguatan pelayanan publik, seperti tersedianya standar pelayanan, budaya pelayanan prima, pengelolaan aduan yang efektif dan efesien, kepuasan pelayanan masyarakat, dan pemanfaatan teknologi informasi.
Let’s Change atau digilas oleh publik merupakan pemikiran dan tindakan yang harus dihitung matang - matang sedini mungkin untuk segera ditindaklanjuti oleh siapapun, baik aparatur maupun seluruh pemangku kebijakan di negeri ini.
Pandemi Covid-19 telah membawa momentum perubahan mendasar bagaimana kita (dibaca: aparatur) dituntut harus beradaptasi dengan kondisi ekstrem guna menjamin keberlangsungan roda pemerintahan dan menjadi garda terdepan pemenuhan pelayanan dasar masyarakat. Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita berubah. Tak peduli berapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga, demikian konseptor perubahan Rhenald Kasali, Ph.D telah mengingatkan kita semua. Sejalan dengan itu, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) telah mengisyaratkan perubahan mendasar pada pembangunan aparatur sipil negara supaya memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat, serta menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
ASN merupakan pelaku utama birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. ASN tidak terbatas pada aset fisik, melainkan melekat padanya watak, perilaku, kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Era keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat membawa pada kenyataan bahwa kita harus siap berhadapan dengan publik yang semakin cerdas dan kritis terhadap berbagai tindakan dan kebijakan yang diambil. Kita tidak boleh menutup mata, hati dan telinga. Justru ini menjadi tantangan tersendiri untuk kita mampu merubah mindset dilayani menjadi melayani, diberi menjadi memberi, didatangi menjadi mendatangi, dan seutuhnya melayani sepenuh hati.
Apresiasi sepatutnya diberikan kepada pemerintah yang telah berkomitmen secara serius dan berkelanjutan untuk melakukan perubahan, salah satunya dengan memperbaharui ketentuan tentang disiplin aparatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang disiplin pegawai negeri sipil yang menitikberatkan pada ketaatan terhadap kewajiban dan menjauhi larangan - larangan. Kewajiban mendasar yang harus dilakukan, antara lain melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran dan tanggung jawab. Di samping itu, adapun larangan yang harus dihindari seperti melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani. Sejumlah sanksi telah menanti atas segala bentuk pelanggaran yang dilakukan aparatur dalam bentuk hukuman disiplin mulai hukuman disiplin ringan (teguran lisan/tertulis/pernyataan tidak puas secara tertulis), hukuman disiplin sedang (pemotongan tunjangan kinerja), dan hukuman disiplin berat (penurunan/pembebasan jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil).
Lalu bagaimana dengan kinerjanya? Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2022 telah menetapkan standar kinerja dan perilaku aparatur dengan harapan mampu menjangkau pelayanan publik yang berkualitas. Perubahan perilaku kerja sebagai perwujudan sikap, watak dan tindakan aparatur merupakan suatu keharusan untuk dapat bertahan dalam wadah birokrasi yang melayani. Mau tidak mau, suka tidak suka, perubahan harus dilakukan, karena standar telah ditetapkan. Standar perilaku kerja aparatur dikenal dengan istilah “BerAkhlak”, berorientasi pelayanan - memahami dan memenuhi kebutuhan masyarakat, ramah, solutif, cekatan, dapat diandalkan, dan melakukan perbaikan tiada henti; akuntabel - melaksanakan tugas dengan jujur, cermat, disiplin, dan berintegritas tinggi; kompeten - mampu menjawab tantangan yang selalu berubah dan melaksanakan tugas dengan kualitas terbaik; harmonis - suka menolong orang lain dan menghargai apapun latar belakangnya; loyal - setia dan memegang teguh ideologi bangsa dan negara; adaftif - mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, kreatif, inovatif, dan bertindak proaktif; dan kolaboratif - membuka ruang untuk berbagai pihak untuk berkontribusi, terbuka untuk menghasilkan nilai tambah, dan mampu menggerakan sumber daya untuk tujuan bersama.
Disadari atau tidak, yang kekal adalah perubahan. Lambat laun hukum alam birokrasi dan publik akan bekerja sebagaimana mestinya untuk menentukan keberlangsungan hidup sebagai ASN dalam gerbong birokrasi yang melayani. Terlebih lagi bayangan kehadiran Artificial Intelegence (AI) yang akan menghadirkan badai pemangkasan pekerja pada sektor formal maupun informal. Bukan tidak mungkin, mesin dengan kecanggihan teknologi yang ditawarkan akan menggerus manusia menjadi penonton intelektual. Memang tidak semuanya bisa dikerjakan oleh mesin - mesin teknologi, akan tetapi sejumlah pekerjaan mampu digantikannya, sehingga akan berdampak pada kuantitas pekerja yang dibutuhkan. Berbicara kuantitas, sejumlah aparatur seperti apa yang akan dibutuhkan selanjutnya, apakah aparatur yang memiliki nilai “BerAkhklak”? atau seperti apa? hanya publik yang akan menjawab dan menentukannya. Salam Perubahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H