(Bagian Terakhir Story About Ivona)
Pada akhirnya semua menjadi terang benderang. Seperti pagi itu setelah kepulangan kurator Steve ke negaranya Wina, Austria, rahasia surat yang kabarnya diperuntukan buatku, menjelaskan siapa sesungguhnya orangtuaku.
Aku kembali ke rumah. Di ruang depan, aku pandangi wajah Gondo yang dibingkai dalam satu foto. Gondo adalah sepupuku menurut cerita pakdeku. Aku memang tidak pernah mengetahui kebenaran cerita Pakdeku soal Gondo itu.
Namun, dalam tulisan di surat bapak yang telah disatukan, bapak menulis bahwa Gondo itulah yang dilahirkan oleh perempuan yang selama ini kuanggap ibuku.
Tetapi pakdeku pernah bilang jika Gondo sudah meninggal belasan tahun lalu. Aku lalu  berusaha merangkai lagi rentetan peristiwa per peristiwa.
Pada saat pria yang selama ini kuanggap bapak hendak meminjam motor ke pak Amri untuk membawa wanita yang selama ini kuanggap ibu, ternyata terungkap bahwa telah terjadi aksi rudapaksa atau pemerkosaan terhadap istri pak Amri oleh pria yang kuanggap bapakku itu.
"Jadi kamu putri kandung Sulastri istri Amri yang kamu habisi nyawamu itu." Terdengar suara pria yang asing di telingaku ketika aku masih mengamati foto Gondo di dinding.
"Kamu siapa?" Tanyaku ke pria yang berbicara barusan.
"Saya Gondo, sepupu kamu."
"Gondo? Pakde bilang kamu sudah meninggal?" Wajahku memperlihatkan orang sedang keheranan.
"Dia bukan pakde kamu atau saya. Dia hanya pembantu di rumah Amri dan Sulastri. Dia yang menyaksikan ketika istri Amri diperkosa pria yang selama ini kamu akui sebagai bapakmu."
"Lalu kamu sepupuku dari mana Gondo?"
"Sulastri punya adik perempuan, dialah ibu saya. Perempuan yang selama ini kamu anggap ibu kandungmu."
"Sesederhana itukah kamu menjelaskan semua ini? Sedangkan aku sudah bertahun-tahun mencari tahu soal ini, sampai aku harus menghabisi nyawa orang dan keluar masuk penjara." Ungkapku lirih.
"Kamu mengalami gangguan kejiwaan Ivona. Semua yang kamu pikirkan dan kamu lakukan, semuanya tidak kamu sadari. Karena Sulastri, ibu kandungmu perempuan gila. Dia diguna-guna oleh banyak orang karena bapakmu tamak, serakah, pelit dan tidak manusiawi kepada sesama." Terang Gondo.
Pelan-pelan suara Gondo makin mengecil di pendengaranku. Pandanganku pun semakin kabur. Semua yang ada dihadapanku berwarna putih seperti sekumpulan awan berarak di atas langit. Lalu semuanya benar-benar tak ada lagi dalam segenap panca inderaku, rasa dan karsaku berhenti sampai disitu. Selesai.
(Cldg 28/8/2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H