Anggaran Dana Desa, seterusnya disingkat ADD, sebelumnya mau saya "plesetin" dulu singkatannya jadi "Ada Duit Diam".
Kenapa?
Karena kebanyakan atau umumnya, begitu kepala desa mendapat ADD, banyak tuh kades yang diam-diam saja. Diam-diam yang saya maksudkan ya misalnya, diam-diam menyusun kuitansi belanja material.Â
Harga semen, pasir, batu cor, genting, batu bata dan lain-lain yang semestinya katakanlah Rp 1 diam-diam disihir jadi Rp 1 juta hehehe.
Saya tak perlu melampirkan kasus, terkait "joke" di atas. Karena bukan rahasia lagi, perkara ADD ini berkutat disitu.Â
Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoal ADD rentan dikorup, itu juga bukan hal baru dan mesti kita bilang "wow" gitu.Â
Karena ADD ini ibarat kue, rasanya uenak tenan. Kalau kue itu sudah enak, apa iya dengan ikhlas kue itu dibagikan ke yang lain?Â
Bisa saja kue ADD itu dibagi oleh seorang kades, katakan begitu. Tapi saya yakin seyakinnya, kue ADD yang enak itu pasti dibagi ke orang-orang terkasih dan terdekatnya. Dalihnya untuk membahagiakan keluarga hehehe.
Prinsip itu sebenarnya bukan cuma berlaku di kue ADD. Dalam lingkup lebih besar lagi sebuah anggaran, jika terjadi korupsi, pasti pembagian kuenya ya seperti yang saya umpamakan tadi.
Imbas kerugian dari itu tentu pastinya negara. Bicara negara, pasti menunjuk siapa pemimpinnya. Bicara pemimpin, orang lantas menunjuk bahkan menyalahkan pemimpinnya si kepala desa, mulai di daerah hingga di pusat.
Padahal nih, untuk urusan ADD kepala negara, presiden Jokowi sudah tegas betul, transparan betul dan tak tanggung tanggung pula menaikan nilai kucuran ADD hampir setiap tahunnya.
Apa mereka, maksud saya kades-kades yang korup ADD itu tidak takut ya sama Jokowi? Saya yakin mereka takut. Tapi mungkin karena jauh begitu, mereka mengira tidak akan diketahui oleh pusat.Â
Jadi usul saya nih sebaiknya tiadakan saja ADD. Ganti programnya dengan Dana Warga. Mau disingkat apa, terserah. Bisa Dawar, bisa Darga, atau bisa juga Naga hehe.
Terus apa setelah diganti dengan nama-nama tadi dana itu masih bisa dikorup? Bisa iya, bisa tidak, atau samar-samar antara iya dan tidak.
Jadi perlu mekanisme dalam pencairan, penggunaan serta pelaporan dana itu. Saya sih setuju, ketika dana itu dikucurkan sebaiknya diberikan kepada para warga.Â
Warga berkumpul di aula atau alun-alun gitu, terus dananya diserahkan. Kades dan perangkatnya justru jadi saksi saja.Â
Pemanfaatan dana itu juga ditentukan oleh warga sendiri. Pelaporan belanjanya pun juga dilaporkan oleh warganya.
Bagaimana kalau ada warga yang "bermain"? Berarti warga lain bersama kades serta perangkatnya yang menghentikan "permainan" warga tadi.
Tapi bukannya sudah ada tuh keterlibatan warga dalam program ADD? Pasti ada. Tapi kenyataannya itu pun tak lebih dari, sekali lagi permainan yang diperankan diantara mereka.Â
Sekali lagi, saya sengaja tidak melampirkan kasus per kasus soal korupsi ADD disini. Orang banyak sudah "khatam" membaca berita korupsi ADD ini.
Yang dibutuhkan pemerintah dalam menangani kejahatan kerah putih ADD ini adalah masukan, usulan atau kritik yang membangun. Ya mudah-mudahan saja setelah dana desa diganti dengan Dana Warga, sedikit banyak kades yang "nakal" tak ada lagi. Apa iya? (17092021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H