kacang-kacang itu berada dalam sekantong plastik transparan, kita sengaja mencerai beraikan menjadi beberapa jumlahnya untuk kemudian kita masukan ke dalam mulut.
Bahkan ketikaSetelahnya kita mengunyahnya sehalus mungkin untuk kemudian kita masukan ke dalam perut. Begitu seterusnya sampai kacang benar-benar habis dari kantong plastiknya.
Sekantong kacang dalam plastik, jika kita memandang hanya sebatas kudapan atau camilan, ia hanya sampai di situ saja keberadaannya.
Lebih dari itu, kita kerap menjadikan kacang sebagai objek lain. Ia bisa jadi perekat kerenggangan ketika menyantapnya bersama-sama. Ia juga bisa menjadi teman dikala sepi. Atau, ia bisa juga menjadi rujukan atau bahan dasar untuk membuat makanan lain.
Sekantong kacang dalam plastik, bisa juga dijadikan sebuah perumpamaan yang lazim dikatakan sebagai pepatah "kacang lupa kulitnya."
Pepatah itu lebih lengkapnya berbunyi "Bagai kacang lupa akan kulitnya". Merujuk arti dari pepatah itu disebutkan bahwa seseorang yang lupa akan asal-usulnya.
Biasanya pepatah itu dialamatkan kepada mereka yang berasal dari desa dan pergi ke kota, menjadi kaya atau memiliki jabatan tinggi, dan lupa daratan.
Bisa juga pepatah itu memiliki arti, orang yang lupa kepada orang yang telah berjasa kepadanya. Ketika orang yang dibantu telah sukses, dia kemudian melupakan orang yang telah membantunya itu.
Mengapa kacang yang rasanya enak itu bisa dijadikan perumpamaan yang memiliki arti yang tak mengenakan?
Padahal Tuhan menciptakan kacang bersama kulitnya. (3092021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H