Aku mengerek bulan setiap matahari pulang ke rumah dan menyimpan cahayanya untuk keesokan hari dimana orang-orang selalu melintas di depan sebatang pohon rapuh tempatku mengikat seutas tali yang menggantung bulan dalam diamnya.
Setiap aku mengerek bulan setiap matahari pulang ke rumah menyimpan cahayanya untuk keesokan hari orang-orang yang Â
melintas di depan sebatang pohon rapuh tempatku mengikat seutas tali yang menggantung bulan dalam diamnya, meneriakiku dengan kalimat orang gila.
Setiap itu, tali yang menggantung bulan yang kukerek putus. Bulan jatuh ke tanah dan kucomot kumasukan ke dalam saku bolong yang kuanggap bulan itu masih ada disitu.Orang-orang meneriakuku lagi orang gila.
Bulan yang kukerek cuma bisa diam dan dengan setia menumpahkan cahayanya tanpa perlu kuberi sumbu dan minyak tanah agar menyala abadi seperti bulan ciptaanNya.
Orang-orang yang meneriakiku "orang gila" ketika aku menurunkan bulan yang kukerek setiap hari padahal juga  mereka yang masih memerlukan pendarnya sebagai penerang jalan mereka untuk menuju penjuru-penjuru angin.
Aku mengerek bulan setiap matahari pulang ke rumah dan menyimpan cahayanya untuk keesokan hari dimana orang-orang selalu melintas di depan sebatang pohon rapuh yang akarnya tak lagi tertanam di dalam tanah tempatku dan orang-orang yang meneriakku orang gila nanti, akan abadi dalam diam.
Ciledug, 29 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H