Bulan Maret 2020 lalu, seluruh sekolah di semua tingkatan dan mungkin di seluruh provinsi di Indonesia, mulai memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Ini dilakukan lantaran pandemi virus Corona (Covid-19) yang hingga kini belum juga usai.
Praktis, pola belajar-mengajar PJJ ini meniadakan pola tatap muka yang sejatinya belum dirasakan tentunya bagi siswa yang baru saja masuk di bangku SD, SMP dan SMA. Mereka yang disebutkan tadi, jadi belum mengenal secara langsung teman-temannya yang juga baru masuk di tingkat sekolah itu.
Jika murid-murid yang naik kelas, tentu masih mengenal teman-temannya, karena mereka belum memiliki kawan baru. Ini berbeda bagi siswa yang baru masuk ke jenjang SD, SMP dan SMA, dipastikan mereka belum mengenal satu sama lain.
Ini pula yang baru terjadi sepanjang sejarah dunia pendidikan Indonesia. Jika sebelumnya siswa-siswi yang baru masuk SD, SMP dan SMA, akan mengikuti pengenalan sekolah secara langsung, kini hal itu tak lagi ada. Kalaupun ada beberapa sekolah yang menggelar masa pengenalan sekolah itu secara langsung, rasanya memang harus dibuat dengan sangat hati-hati dan harus mengikuti Prokes Covid-19.
Maret 2021 ini genap setahun PJJ dilaksanakan. Selama 360 hari mengikuti pelajaran jarak jauh, banyak sekali hal-hal baru didapat. Mulai dari siswa yang harus "paham" teknologi lewat gawai, hingga orangtua yang juga harus melakukan bimbingan serta pendampingan terhadap putra-putri mereka.
Bukan tanpa konsekuensi dan dampak buruk, sistem PJJ ini dilaksanakan. Setahun PJJ, siswa-siswi tak sedikit yang mengaku bosan belajar terus di rumah. Dampaknya, ada sebagian yang akhirnya malas menuntaskan tugas-tugas dari sekolah. Kondisi itu juga dipengaruhi dengan adanya bantuan para orangtua yang "meninabobokan" anak-anak mereka.
Sementara bagi beberapa orang tua murid, sistem PJJ ini ada yang disikapi dengan negatif. Ujung-ujungnya, orangtua murid yang masuk dalam katagori ini acap mengaku tak kuat, stress bahkan pusing menghadapi anak-anak mereka yang belajar di rumah.
Kondisi itu mungkin dipicu juga oleh psikologis orangtua murid yang mungkin sudah terbebani oleh masalah lain. Misalnya masalah ekonomi keluarga dan lainnya.
Setahun PJJ bukan waktu yang sebentar. Migrasi belajar siswa-siswi dari sekolah ke rumah, tentu telah mengubah pula pola pikir, daya nalar dan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran yang diberikan guru mereka.
Kehebatan mesin pencari google telah mengantarkan anak-anak kita bertumpu di situ. Mereka yang kesulitan menemukan jawaban atas soal yang diberikan guru, tinggal ketik di mesin pencari google dan mesin pintar itu langsung mencarikan jawaban tersebut.
Bagi beberapa guru yang paham soal ini, sudah pasti akan tahu jawaban muridnya, apakah dia dapat dari materi bacaan di buku atau lewat google. Kondisi ini tentu menjadi PR tersendiri khususnya bagi para guru, bagaimana menghadapi siswa yang "demen" nyontek di mbah google.
Lantas apakah salah jika PJJ yang telah berumur setahun ini akan menciptakan siswa-siswi generasi mbah google? Mari kita cermati sama-sama. Apakah yang membedakan antara buku materi sesuai kurikulum itu dengan apa yang didapat oleh mbah google.
Selamat merayakan setahun PJJ. Semoga PJJ ini pendek umurnya agar putra-putri kami tak lupa jalan menuju ke sekolahnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H