Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kejahatan dan Potensi Ruang Siber

24 Maret 2021   00:13 Diperbarui: 24 Maret 2021   00:17 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam bulan-bulan terakhir, Revisi UU ITE menjadi wacana yang terus hangat di publik. Pernyataan Presiden Joko Wid0d0 benar-benar menyulut pembahasan Revisi UU ITE kembali menjadi perbincangan. Berbagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap perubahan UU ITE saling berlontaran wacana. Para pendukung perubahan UU ITE banyak memberi penjelasan dan dasar alasan pentingnya revisi UU ITE mulai dari korban UU ITE, Pasal Karet, praktek ambigu dan tentu mengaitkannya dengan ketentuan Hukum Pidana.

Sementara kelompok yang menentang perubahan UU ITE menaruh perhatian pada pentingnya keberadaan pasal-pasal yang justru diminta perubahan. Kelompok yang disebut ini menandaskan bahwa pasal-pasal yang dimintakan berubah (27,28, 29) pada prinsipnya merupakan penerapan ketentuan hukum pidana pada lingkungan siber. Karena itu mereka menandaskan bahwa cantolan pasal pidana di KUHP yang sudah disuratkan oleh pasal-pasal di UU ITE harus dibaca dalam satu kesatuan.  Lebih jauh kelompok ini mengatakan akan menjadi sia-sia perubahan UU ITE jika ternyata nantinya pasal cantelan di dalam KUHP ternyata sudah tidak eksis. Karena itulah kelompok ini menekankan kepada pihak berseberangan untuk sabar menunggu hasil akhir perubahan KUHP sambil tetap memberlakukan UU ITE sebagaimana adanya. 

Pemidanaan di Ruang Siber

Dalam satu diskusi yang dihadiri Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Hiariej, dipaparkan kronologis ringkas perjalanan UU ITE diawal pengusulannya. Satu hal yang bisa disimpulkan dari pernyataannya adalah UU ITE sejak awal memang tidak didesain untuk memasukan unsur pemidanaan. Edward Hiariej  mengklasifikasikan pidana di dalam UU ITE berada pada klaster Pidana Umum diluar UU yang mengatur pemidanaan. Dari penjelasan tersebut dapat diperiksa bagaimana pengaturan pemidanaan di dalam UU ITE justru dengan sengaja dicantelkan kepada KUHP. Bahkan dalam 12 tahun pemberlakuannya (termasuk revisi 2016), ada sejumlah pasal pemidanaan induk yang ada di KUHP telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi. 

Jika merujuk, naskah akademis yang disertakan saat perancangan awal UU ITE, hanya mencantumkan jenis kejahatan siber (cyber crime/computer crime) yang memang sama sekali belum diatur dalam KUHP. Kejahatan siber/komputer yang telah menjadi bahasan dunia sejak 1980-an lah yang ingin diatur di dalam UU ITE.  Walau demikian secara keseluruhan rancangan UU ITE ini pada awalnya diniatkan untuk dunia siber/komputer khususnya berkenaan dengan pengaturan tentang pemanfaatan siber. Dengan demikian memang UU ITE ini tidak terfokus pada tindak pidana/kejahatan yang juga dilakukan di dunia nyata. 

Baru pada masa pembahasan bersama DPR Periode 2004-2009 di dalam tim kecil muncul ide untuk juga memasukan "kemungkinan" perluasan kejahatan di dunia nyata ke dunia siber. Ada sejumlah nama anggota DPR yang dahulu juga ikut membahas RUU ITE ini yang saat ini masih hidup seperti Fahri Hamzah, Ganjar Pranowo, Viktor Laiskodat, dan nama-nama lainnya. 

Sejak UU ITE ini diundangkan, apa yang kita dengar dari penindakan justru bukan hacking, carding, cybersquating, atau jenis-jenis kejahatan berkenaan dengan komputer, internet dan dunia siber yang sudah dikenali oleh masyarakat internasional. Korban pertama dari UU ITE ini justru seorang ibu yang bercerita tentang kekecewaan dan menyampaikan kritik atas layanan publik Rumah Sakit swasta. Berbondong-bondonglah gerakan "Koin Prita". Setelah itu, berbagai  peristiwa saling lapor atas unggahan di media sosial menjadi semakin marak diberitakan. Lebih parah lagi, bahkan pejabat publik yang semestinya menjadi contoh justru melaporkan warga menggunakan UU ITE ini hanya karena merasa tersinggung/kehormatannya dinista. Padahal di negara yang disebut sebagai contoh oleh naskah akademis RUU ITE justru, hal demikian adalah hal biasa dan tidak dipidana. Lantas kemana kejahatan siber yang menjadi sasaran awal UU ITE ini?

Pemanfaatan Siber

Menyaksikan perkembangan ruang siber ini cukup menarik. Setidaknya, saya sendiri mengikuti sejak internet masih menggunakan dial up, dan nongkrong berlama-lama di warnet. Alamat surat elektronik yang pertama kali saya pakaipun masih terpelihara sampai saat ini. Kini bahkan anak saya yang baru berusia 3,5 tahun sudah terpapar internet. 

Berbagai laporan lembaga survei dunia mulai dari Digital Adoption Index, WeAreSocial, dan lainnya menegaskan bahwa ruang siber kita baru dapat dimanfaatkan sebagai medium konsumsi. Penetrasi internet yang terbilang cepat dan meluas di Indonesia nyatanya baru mampu membuat barisan konsumen. Mulai dari konsumen platform aplikasi hiburan, percakapan, media sosial, hingga perdagangan, warga Indonesia masih diukur sebagai konsumen potensial yang begitu besar. Padahal, niatan awal RUU ITE ini adalah mensejajarkan pengaturan siber Indonesia dengan negara di dunia yang bisnisnya telah merambah di dunia siber.

Berapa banyak orang indonesia yang sudah menggunakan tanda tangan digital (digital id) sebagai representasi dirinya didalam bertransaksi (sosial dan ekonomi)? Mengapa kita masih harus membuat salinan (foto copy) KTP untuk setiap administrasi (sosial maupun ekonomi) padahal KTP sudah mengandung informasi digital? Berapa banyak pelayanan publik yang sudah mengadopsi digitalisasi dalam pelayanannya? Mengapa hal ini semua justru tidak terdengar maju? 

Ada kalangan yang mengatakan "pikiran  sudah sampai bulan, tapi kaki masih terjerembab di pematang" untuk menggambarkan situasi paska kepemilikan UU ITE. Pengaturan UU ITE makin terlihat tidak kontekstual dengan sosio-historis masyarakat jika ditinjau dari sisi ini. Masyarakat yang masih manual namun pengaturannya sudah sampai siber-digital. Alasan pemerintah yang mengusulkan UU ITE saat itu bahwa kita  tidak dapat menunggu perkembangan masyarakat lokal karena di internasional nyatanya dunia siber terus berkembang dan meringsek masuk ke Indonesia.

Dalam kaitan ini, maka tidak terlampau salah jika dikatakan justru yang diuntungkan dari UU ITE ini adalah para pengusaha teknologi komunikasi. Kita bisa lihat hal ini besarnya impor telepon pintar masuk ke Indonesia. Demikian juga dengan perebutan pengelolaan frekuensi layanan telekomunikasi oleh para pemodal. Dimana negara berada ketika UU ITE ternyata memberi untung besar bagi pengusaha namun sebaliknya bagi warga negara lainnya? 

Revisi UU ITE Kedepan

Pemerintah memang sedang melakukan kajian serius berkenaan dengan kehendak merevisi UU ITE yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Namun apakah revisi ini kembali hanya fokus pada bagian tertentu khususnya pidana sebagaimana lontaran Jokowi? Kita tunggu satu bulan kedepan (janji 3 bulan dari Kemenkopolhukham). 

Jika melihat leading actor yang melakukan kajian adalah bidang politik, hukum dan keamanan, maka kita bisa prediksi revisi UU ITE untuk kedua kalinya ini tetap akan fokus pada soal pidana. Walaupun Wamenkumham mengatakan ada kemungkinan pasal pidana di UU ITE ini tidak jadi di revisi karena RUU KUHP juga sudah memasukan ide serupa. Konon Juli 2021 nanti, hasil pembahasan RUU KUHP yang baru nanti akan disosialisasikan. 

Walau demikian, tidak salah juga sebagai warga negara kita ikut andil untuk menyampaikan ide dan pikiran sejalan dengan wacana revisi UU ITE. Dalam pandangan kemanfaatan, revisi UU ITE kedepan semestinya memasukan perlindungan terhadap perkembangan pemanfaatan ruang siber oleh warga negara. Kasus yang belum lama mencuat tentang monopoli produsen luar negeri di salah satu marketplace populer perlu menjadi pertimbangan. Kita punya banyak UMKM yang membutuhkan afirmasi dan perlindungan pemerintah di ruang siber. 

Lebih dari itu, perkembangan para inventor (start up) platform dunia siber yang berasal dari warga Indonesia pun semakin pesat. Hal ini penting juga menjadi perhatian dari pemerintah selain terus mengadopsi digitalisasi secara meluas. Perlindungan terhadap warga negara sebagai konsumen berbagai platform dunia siber juga perlu menjadi isi dari rencana revisi UU ITE kedepan. 

Sebagai warga negara, tentu kita berharap UU ITE bukan hanya gagah di dunia internasional dan memberi ruang keuntungan besar bagi korporasi modal. DIa harus juga memberi manfaat bagi warga negara biasa seperti Paiman, Suparjo, Asikin, Dul Matin, dan tentu saya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun