Dalam bulan-bulan terakhir, Revisi UU ITE menjadi wacana yang terus hangat di publik. Pernyataan Presiden Joko Wid0d0 benar-benar menyulut pembahasan Revisi UU ITE kembali menjadi perbincangan. Berbagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap perubahan UU ITE saling berlontaran wacana. Para pendukung perubahan UU ITE banyak memberi penjelasan dan dasar alasan pentingnya revisi UU ITE mulai dari korban UU ITE, Pasal Karet, praktek ambigu dan tentu mengaitkannya dengan ketentuan Hukum Pidana.
Sementara kelompok yang menentang perubahan UU ITE menaruh perhatian pada pentingnya keberadaan pasal-pasal yang justru diminta perubahan. Kelompok yang disebut ini menandaskan bahwa pasal-pasal yang dimintakan berubah (27,28, 29) pada prinsipnya merupakan penerapan ketentuan hukum pidana pada lingkungan siber. Karena itu mereka menandaskan bahwa cantolan pasal pidana di KUHP yang sudah disuratkan oleh pasal-pasal di UU ITE harus dibaca dalam satu kesatuan. Â Lebih jauh kelompok ini mengatakan akan menjadi sia-sia perubahan UU ITE jika ternyata nantinya pasal cantelan di dalam KUHP ternyata sudah tidak eksis. Karena itulah kelompok ini menekankan kepada pihak berseberangan untuk sabar menunggu hasil akhir perubahan KUHP sambil tetap memberlakukan UU ITE sebagaimana adanya.Â
Pemidanaan di Ruang Siber
Dalam satu diskusi yang dihadiri Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Hiariej, dipaparkan kronologis ringkas perjalanan UU ITE diawal pengusulannya. Satu hal yang bisa disimpulkan dari pernyataannya adalah UU ITE sejak awal memang tidak didesain untuk memasukan unsur pemidanaan. Edward Hiariej  mengklasifikasikan pidana di dalam UU ITE berada pada klaster Pidana Umum diluar UU yang mengatur pemidanaan. Dari penjelasan tersebut dapat diperiksa bagaimana pengaturan pemidanaan di dalam UU ITE justru dengan sengaja dicantelkan kepada KUHP. Bahkan dalam 12 tahun pemberlakuannya (termasuk revisi 2016), ada sejumlah pasal pemidanaan induk yang ada di KUHP telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi.Â
Jika merujuk, naskah akademis yang disertakan saat perancangan awal UU ITE, hanya mencantumkan jenis kejahatan siber (cyber crime/computer crime) yang memang sama sekali belum diatur dalam KUHP. Kejahatan siber/komputer yang telah menjadi bahasan dunia sejak 1980-an lah yang ingin diatur di dalam UU ITE. Â Walau demikian secara keseluruhan rancangan UU ITE ini pada awalnya diniatkan untuk dunia siber/komputer khususnya berkenaan dengan pengaturan tentang pemanfaatan siber. Dengan demikian memang UU ITE ini tidak terfokus pada tindak pidana/kejahatan yang juga dilakukan di dunia nyata.Â
Baru pada masa pembahasan bersama DPR Periode 2004-2009 di dalam tim kecil muncul ide untuk juga memasukan "kemungkinan" perluasan kejahatan di dunia nyata ke dunia siber. Ada sejumlah nama anggota DPR yang dahulu juga ikut membahas RUU ITE ini yang saat ini masih hidup seperti Fahri Hamzah, Ganjar Pranowo, Viktor Laiskodat, dan nama-nama lainnya.Â
Sejak UU ITE ini diundangkan, apa yang kita dengar dari penindakan justru bukan hacking, carding, cybersquating, atau jenis-jenis kejahatan berkenaan dengan komputer, internet dan dunia siber yang sudah dikenali oleh masyarakat internasional. Korban pertama dari UU ITE ini justru seorang ibu yang bercerita tentang kekecewaan dan menyampaikan kritik atas layanan publik Rumah Sakit swasta. Berbondong-bondonglah gerakan "Koin Prita". Setelah itu, berbagai  peristiwa saling lapor atas unggahan di media sosial menjadi semakin marak diberitakan. Lebih parah lagi, bahkan pejabat publik yang semestinya menjadi contoh justru melaporkan warga menggunakan UU ITE ini hanya karena merasa tersinggung/kehormatannya dinista. Padahal di negara yang disebut sebagai contoh oleh naskah akademis RUU ITE justru, hal demikian adalah hal biasa dan tidak dipidana. Lantas kemana kejahatan siber yang menjadi sasaran awal UU ITE ini?
Pemanfaatan Siber
Menyaksikan perkembangan ruang siber ini cukup menarik. Setidaknya, saya sendiri mengikuti sejak internet masih menggunakan dial up, dan nongkrong berlama-lama di warnet. Alamat surat elektronik yang pertama kali saya pakaipun masih terpelihara sampai saat ini. Kini bahkan anak saya yang baru berusia 3,5 tahun sudah terpapar internet.Â
Berbagai laporan lembaga survei dunia mulai dari Digital Adoption Index, WeAreSocial, dan lainnya menegaskan bahwa ruang siber kita baru dapat dimanfaatkan sebagai medium konsumsi. Penetrasi internet yang terbilang cepat dan meluas di Indonesia nyatanya baru mampu membuat barisan konsumen. Mulai dari konsumen platform aplikasi hiburan, percakapan, media sosial, hingga perdagangan, warga Indonesia masih diukur sebagai konsumen potensial yang begitu besar. Padahal, niatan awal RUU ITE ini adalah mensejajarkan pengaturan siber Indonesia dengan negara di dunia yang bisnisnya telah merambah di dunia siber.
Berapa banyak orang indonesia yang sudah menggunakan tanda tangan digital (digital id) sebagai representasi dirinya didalam bertransaksi (sosial dan ekonomi)? Mengapa kita masih harus membuat salinan (foto copy) KTP untuk setiap administrasi (sosial maupun ekonomi) padahal KTP sudah mengandung informasi digital? Berapa banyak pelayanan publik yang sudah mengadopsi digitalisasi dalam pelayanannya? Mengapa hal ini semua justru tidak terdengar maju?Â