Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Money

Demi Bisnis, Asbestos "Dipaksa" Aman

11 Juli 2019   14:14 Diperbarui: 11 Juli 2019   14:28 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Krisotil menghidupi banyak pekerja dan dunia membutuhkan krisotil untuk membangun lebih banyak," ujar Dmitri Selianin, perwakilan serikat perkerja crisotil dari Rusia. 

Bukan pertama kali Dmitri hadir sebagai pihak intervensi pada pertemuan Konvensi Rotterdam membahas daftar barang/zat yang mengharuskan prior information consent (PIC) dalam transaksinya. Alasan bahwa banyak pekerja "terhidupi" dari industri krisotil dan kebutuhan bahan bangunan yang murah pun berulang-ulang dia kemukakan. Setidaknya dalam empat pertemuan konvensi Rotterdam berturut-turut, Dmitri adalah wakil suara pekerja industri krisotil yang diperdengarkan di dalam pertemuan dunia tersebut.

Bersama 10 negara yang menolak krisotil masuk dalam daftar barang dalam list Konvensi Rotterdam, Dmitri kembali memperpoleh kemenangannya. Krisotil masih belum didaftarkan di dalam list barang konvensi Rotterdam di tahun 2019.  

Walau lembaga dunia seperti WHO, ILO dan peneliti yang tergabung dalam chemical review committee (CRC) sudah menyatakan bahwa segala jenis asbestos, termasuk krisotil, berbahaya bagi kesehatan, namun Rusia, Kazakhstan, Zimbabwe, India, Syria, Pakistan, Kirgistan, masih saja menolak krisotil masuk dalam daftar barang yang harus diawasi pergerakannya lewat PIC. Sementara Venezuela, Iran, dan Kuba masih ragu untuk memberi pendapat dan berposisi karena masih minimnya informasi dan riset yang ditemukan.

Korban Tidak Diengar

Selain Dimitri Selianin ada Subono yang juga perwakilan (organisasi) pekerja yang hadir di triple cop Jenewa 2019. Kedua perwakilan ini saling berkebalikan, Subono adalah korban krisotil yang ingin krisotil dilarang diperdagangkan di seluruh dunia.

8 Mei 2019, Subono menyampaikan kekhawatirannya terhadap krisotil yang masih diperdagangkan bebas di Indonesia dihadapan peserta sidang konvensi Rotterdam. Dia adalah satu dari 24 penyintas korban asbestos krisotil yang menderita akibat perusahaan tempatnya bekerja menggunakan krisotil sebagai bahan baku produknya. Di PT Siam Indo Concrete Produk, Perusahaan investasi Thailand, dia bekerja di bagian produksi atap asbes bergelombang. Dari hasil pemeriksaan medis, Subono terindikasi terkena penyakit disebabkan asbes, asbestos related disease, (ARD).

Dihadapan perwakilan 180 negara, dan puluhan organisasi non pemerintahan internasional, Subono kembali mengingatkan warga dunia bahwa korban asbestos terus berjatuhan. Untuk itu dia meminta para delegasi peserta pertemuan untuk sepakat mutlak memasukan krisotil kedalam daftar barang yang harus di hentikan penggunaannya.

Sambil tercekat, dia menyampaikan,

"Kita tahu kebohongan penggunaan krisotil yang aman. Saya bekerja di kondisi kerja yang tidak manusiawi dan berdebu tanpa APD standar. Ini membuat saya dan teman-teman saya sering mengalami sakit, batuk, sesak napas, kelelahan. Pemeriksaan yang dilakukan perusahaan adalah rahasia perusahaan dan tidak dapat diakses."

Lalu dia melanjutkan,

"Kami menuntut, pada pertemuan ini, krisotil dapat dimasukkan dalam daftar Apendiks III atau bahwa Konvensi di reformasi untuk memastikan hal ini. Harapan kami adalah semua delegasi disini mendukungnya. Bagaimana mungkin kepentingan finansial menghalangi kepentingan perlindungan pekerja seperti saya, dari pajanan bahan beracun."

Dingin yang menusuk di luar ruang sidang utama, terasa juga di dalam. Negara-negara peserta konvensi yang juga menginginkan krisotil masuk dalam daftar PIC, terdiam menyimak kesaksian korban krisotil untuk yang kedua kalinya. Belasan anggota perwakilan organisasi non pemerintah internasional ikut berdiri menyatakan dukungannya terhadap kesaksian Subono.

"Sudah banyak korban nyata di berbagai belahan dunia. Anda tidak dapat terus menahan krisotil (masuk dalam daftar PIC) dan mengorbankan manusia hanya demi konsensus," ujar salah satu delegasi NGO dari Australia.

Presiden COP, Osvaldo lvarez-Prez, melanjutkan sidang dengan menanyakan sikap dari peserta intervensi lainnya. Satu dari serikat buruh krisotil Rusia, Kazakhstan dan dari asosiasi manufaktur asbestos di India. Tampak upaya diplomatis dari pimpinan sidang untuk meminta sikap negara-negara penolak krisotil masuk dalam daftar PIC sambil terus meminta negara pendukung untuk memberi argumentasi.

"Krisotil ini sudah dibawa dari COP 8 dan 4 COP sebelumnya. Jika belum ada konsensus dalam sidang ini, maka akan dibawa pada contact group dan dibahas kembali dalam COP selanjutnya," jelas Prez mengingatkan.

Persis sama seperti yang terjadi pada COP 8, suara korban yang diperdengarkan di ruang sidang tidak juga membuat krisotil disepakati menjadi salah satu material di dalam daftar konvensi Rotterdam. Hanya karena masih ada negara yang ragu bahkan menolak memasukan krisotil dalam daftar tambahan konvensi Rotterdam, maka krisotil pun masih harus dibahas pada pertemuan sidang berikutnya.

"Setidaknya, suara kita telah terdengar dan sidang tidak hanya dikuasai oleh para pendukung asbes krisotil," ujar Phillip Hazelton wakil dari organisasi non pemerintah dari Australia.

Mekanisme Konsensus Penghambat

Mekanisme pengambilan keputusan pada sidang konvensi Rotterdam memang mengharuskan konsensus penuh negara anggota. Artinya, walau hanya tertinggal satu negara pun yang berlawan sikap dengan negara lainnya, pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan. Uniknya untuk konvensi Rotterdam ini tidak satupun negara yang berupaya mengajukan perubahan mekanisme.

Dalam triple COP (Bassel, Rotterdam dan Stockholm) yang berlangsung 29 April -10 Mei sebenarnya ada satu sejarah baru. Untuk pertama kalinya pengambilan keputusan dalam sidang dilakukan dengan mekanisme voting terhadap isu mekanisme komplain. Walaupun ada sejumlah catatan yang diberikan oleh negara yang menolak mekanisme voting dan isu yang dibahas, namun sidang memutuskan bulat terkait mekanisme komplain negara anggota konvensi.

Sayangnya terhadap isu daftar material yang diusulkan untuk masuk dalam PIC list, mekanisme yang sama tidak dapat diberlakukan. Bahkan Swiss yang dalam pembahasan mekanisme komplain begitu kuat melobi dan berargumentasi pun tidak bersuara untuk mengubah mekanisme konsensus terhadap daftar material yang perlu PIC.  Walhasil, krisotil masih tetap menjadi material yang tidak memerlukan PIC dan tidak dikenakan aturan mekanisme komplain terhadap negara-negara yang mentransaksikannya.

Mekanisme konsensus ini pada satu sisi memang dibutuhkan agar sidang berjalan tanpa dominasi mayoritas-minoritas dan mengupayakan argumentasi yang dapat diterima semua pihak. Namun pada sisi sebaliknya mekanisme yang demikian membuat sulitnya suatu material yang diketahui berbahaya bagi manusia mendapat perhatian pengendalian oleh negara anggota. Bahkan lebih dari itu mekanisme yang demikian memungkinkan satu negara dengan arogannya berkeras untuk menolak usulan baru barang berbahaya untuk dimasukkan kedalam daftar pengendalian bersama negara-negara di dunia.

Hal ini yang tampak terjadi dalam pengusulan krisotil sebagai material yang membutuhkan PIC. Hanya karena ada tiga negara (Venezuela, Iran, dan Kuba) yang beralasan masih belum menemukan argumentasi logis maka krisotil pun tidak bisa langsung masuk dalam list konvensi Rotterdam. Demikian juga jika ada negara seperti Rusia dan Khazakhstan yang mengatakan bahwa demi material bahan bangunan murah dan tahan lama serta serapan tenaga kerja, menolak memasukan krisotil dalam daftar tambahan konvensi Rotterdam maka krisotil pun tidak bisa masuk.

Bisa juga jika ada negara seperti Rusia dan India yang mengatakan bahwa yang selama ini dilaporkan memiliki dampak terhadap kesehatan manusia adalah amphibole/amosit (asbes coklat) dan karenanya krisotil tidak ada laporan dampaknya, maka krisotil pun tidak bisa diputuskan masuk dalam daftar material yang ada di konvensi Rotterdam.

Cukup mengejutkan memang alasan yang dikemukakan India dan Rusia bahwa selama ini yang terlihat dampaknya hanyalah amphibole/amosite. Pertama, karena memang amphibole/amosite telah lama (sebelum tahun 1990) masuk dalam daftar konvensi Rotterdam dan dilarang di banyak negara. Kedua, karena secara jelas International Agency For Research on Cancer (IARC) dan banyak riset lainnya secara jelas menyebutkan dampak karsinogenik dari krisotil bukan lagi amphibole/amosite. Ketiga, pembiasan antara amphibole dengan krisotile sebangun dengan kampanye pembiasan "safely use asbestos" yang disebarkan Chrysotile Institute/International Chrysotile Association tahun 1980-an.

Kelompok intervensi yang berasal dari sejumlah organisasi non pemerintahan tingkat internasional menyadari mekanisme konsensus ini sangat memudahkan suatu negara menghambat masuknya suatu material kedalam daftar konvensi Rotterdam. Kelompok ini pun berupaya untuk meyakinkan perlunya perubahan mekanisme pengambilan keputusan di dalam sidang COP. Namun suara kelompok yang demikian ini tidak dapat secara langsung mempengaruhi perubahan mekanisme pengambilan keputusan. Hanya suara pengusul dari perwakilan negara anggota konvensi yang dapat dipertimbangkan.

Indonesia di Triple Cop

"Selamat, terima kasih sudah menyuarakan kekhawatiran kami yah,"

Kalimat tersebut keluar dari Awidya Santikajaya, diplomat penasihat misi permanen Republik Indonesia untuk PBB, WTO dan Organisasi Internasional lainnya, saat menghampiri Subono setelah menyampaikan testimoninya di Triple Cop, Jenewa 29 Mei -- 10 Juni 2019. Di wajahnya masih terlihat keheranan karena ada orang Indonesia yang bukan delegasi resmi kenegaraan menyampaikan pidato berbahasa Indonesia di sidang COP.

Sidang COP 9 Konvensi Rotterdam yang berakhir dengan blokade 10 negara penolak krisotil masuk dalam daftar PIC, menandakan bahwa krisotil akan dibawa kembali dalam sidang COP berikutnya. Delegasi Indonesia yang begitu aktif menyatakan sikap menolak paraquat di COP 9 masuk dalam PIC, tidak menyatakan sikapnya untuk material krisotil. Sikap yang sangat mengecewakan bagi para korban krisotil.

Diluar sidang, salah satu anggota delegasi resmi Indonesia yang berasal dari Kementerian Luar Negeri sedikit memberi gambaran mengapa Indonesia bersikap menolak paraquat dan tidak menyatakan sikapnya terhadap krisotil. Dalam tutur yang sangat teratur dan diplomatis dia menjelaskan bahwa "kepentingan Indonesia" menjadi perhatian utama delegasi dalam setiap perundingan-perundingan Internasional seperti juga di Triple COP. Dengan demikian membaca kepentingan negara peserta lainnya juga menjadi pertimbangan perimbangan dalam perundingan.

"Indonesia punya iklim yang berbeda dengan negara yang melaporkan paraquat, krisotil berdampak serius terhadap penggunanya. Kita di Indonesia punya musim yang berbeda dan memungkinkan dampak yang sama tidak terjadi di Indonesia," jelasnya. Dia menambahkan bahwa masih dibutuhkan informasi dan hasil riset yang lebih meyakinkan agar sikap resmi negara mau memasukkan material tertentu kedalam daftar PIC konvensi Rotterdam.

"Perwakilan PT Syngenta, FICMA (Fibre Cement Manufacturer Association) rajin datang ke kementerian terkait sebelum pertemuan. Mereka memberikan hasil riset, kajian, bahkan membiayai riset yang dilakukan lembaga negara untuk meyakinkan ada/tidaknya dampak material paraquat, krisotil," jelasnya. Tidak hanya riset dampak penggunaan namun juga riset-riset yang berkaitan dengan nilai ekonomis yang menjadi bahan masukan dari kedua lembaga tersebut kepada kementerian. "Teman-teman silahkan datang dan beri masukan yang sama kepada kementerian terkait," ajaknya secara diplomatis.

Dari penuturan perwakilan delegasi resmi Indonesia tersebut tampak negara Indonesia masih "ragu" terhadap dampak jahat bahan seperti krisotil, dan paraquat khususnya. Dalam kondisi yang demikian maka kata kunci "pengendalian" menjadi andalan untuk mementahkan dampak jahat kesehatan dari penggunaan krisotil.    

Alasan kelompok industri untuk tetap menjauhkan krisotil dan paraquat dari daftar PIC nampak lebih mudah diterima oleh negara. Serapan tenaga kerja, biaya ekonomis pergantian bahan dan mesin, dan alasan produk yang murah untuk mendukung pembangunan lebih menjadi pertimbangan negara ketimbang "baru" adanya sedikit korban yang itupun masih diragukan apakah karena krisotil atau karena amphibole/amosite.

Gerakan Ban-Asbestos nampaknya masih harus melalui jalan yang cukup terjal dan panjang untuk sampai pada keberanian negara Indonesia melarang transaksi asbestos-krisotil dalam bentuk apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun